Perbedaan Pria dan Wanita
Untuk dapat memahami bagaimana pola
perasaan seorang pria, terlebih dulu orang harus menerima kenyataan bahwa pria,
terlebih dulu orang harus menerima kenyataan bahwa pria dan wanita itu memang
berbeda. Dengan menyatakan bahwa bahwa pria dan wanita memang berbeda, saya
tidak bermaksud menekankan bahwa perbedaan itu memang perlu dan baik. Saya
hanya ingin meminta bahwa lebih dulu seorang wanita perlu menerima, bahwa
acapkali pria tidak merasakan seperti apa yang dirasakan oleh seorang wanita.
Sering pula mereka tidak berpikir sebagaimana cara wanita berpikir,dan tidak
melakukan suatu perbuatan seperti cara wanita melakukannya. Sebenarnya pria
bukan dengan sengaja mau berlaku menyerang atau menantang. Secara biologis,
mereka memang berbeda dan sosialisasi yang dialaminya pun berbeda. Perbedaan
tersebut diantaranya :
1. Pria lebih agresif daripada wanita
Mereka cenderung lebih suka bersaing,
lebih mudah marah dan lebih mendominasi. Mereka dengan mudah dapat
mengungkapkan rasa marah, dan segi ini mungkin adalah satu-satunya segi
emosional yang dapat mereka nyatakan secara leluasa. Seorang wanita mungkin
akan bertanya mengapa seorang pria tertentu begitu mudah marah. Jawabnya adalah
karena kemarahan itu merupakan slah satu cara ungkapan yang alamiah bagi pria.
Kemarahan pria lebih intens dibandingkan wanita. Satu hal yang sering terjadi
adalah bahwa seorang wanita salah paham dalam hal ini. “Bagaimana mungkin ia
mencintaiku kalau tindakannya padaku seperti itu?” seringkali seorang wanita
masih menyimpan sakit hatinya selama berhari-hari sesudah peristiewa terjadi
itu, dan tidak mengerti kenapa isterinya begitu terluka.bagi seorang wanita
ungkapan kemarahan itu sesuatu yang amat mencolok, sedangkan bagi pria sering
merupakan suatu refleksi saja. Bila si pria mencoba menerangkan hal ini kepada
wanita sering kali ia tidak dipercaya, padahalini suatu kenyataan.
Pria harus waspada akan dampak kata-kata
atau tindakannya kepada wanita. Wanita perlu mengurangi kebiasaannya untuk
menaruh arti lebih terhadap suatu perselisihan. Daripada surut kebelakang atau
balas menyerang, sebaiknya memberi penjelasan tentang reaksi mereka dengan cara
menggambarkan bagaimana perasaan mereka terhadap suatu perselisihan.
2. Pria
kurang memilki hasrat untuk merawat
Entah hal ini merupakan suatu
kecendrungan biologis atau dipelajari, namun pria memang kurang memilki hasrat
untuk merawat. Pria tidak biasa secara spontan memberi sesuatu. Mereka tidak
bisa menaruh perhatian akan keadaan orang lain. Ini suatu kenyataan dalam
lingkungan rumah maupun lingkungan pekerjaan. Karenanya wanita sering merasa
diperlakukan secara tak adil karena pasangannya tidak mengimbangi apa yang
telah mereka berikan.
Dalam situasi-siatuasi dimana seorang
wanita secara spontan akan terjun bertindak, seperti bila suami atau
anak-anaknya sakit, seorang pria seringkali tidak bertindak seperti tindakan
wanita. Menurut pengamatan pria sering merasa cangguang atas suatu
ketergantungan dan pada saat isteri atau anak-anaknya membutuhkan hiburan dan
dukungan, mereka justru surut karena tak mampu mengatasi emosinya. Akibatnya
isteri atau pasangan mereka akan merasa ditolak dan merasa kecewa.
Wanita ingin agar pria memahami
kebutuhan mereka menanggapi secara tepat. Suatu cara yang mengena adalah
nyatakanlah keinginan kita secara khusus, misalnya minta pasangan kita gantian
mengurus sang anak atau minta dibelikan lauk untuk makan malam. Bila minta
secara jelas, umumnya pria akan menanggapi dengan memadai.
3. Harga
diri seorang pria lebih dikaitkan dengan pekerjaan
Meskipun dimasa kini kita jumpai wanita
usia 20-an dan 30-an yang mengejar karir, namun dalam satu hal tetap ada satu
perbedaan mendasar dengan pria. Kebanyakan pria merasa hancur dan tak berharga
bila mereka gagal dalam karir atau mengalami kemunduran dalam hal keuangan.
Sedangkan wanita mengalami kepuasan hidup bila ia berhasil dalam hubungannya
dengan sesama. Ketergantungan seorang pria terhadap persahabatan mungkin bahkan
lebih besar daripada ketergantungan wanita terhadap hal ini. Namun, berharga
dari seorang pria lebih terkait pada
keadaan karirnya. Mungkin perkawinannya berjalan baik dan anak isterinya amat
mencintainya, namun bila ia merasa bahwa apa yang dicapainya dalam dunia
pekerjaan tak begitu baik, ia akan merasa “kurang”, sebagai laki-laki.
Seringkali kebiasaan pria untuk lebih
mengutamakan isu-isu pekerjaan dirasakan sebagai suatu penolakan oleh para
wanita. Hal ini biasanya tidak benar. Apa yang kita rasakan sebagai suatu
reaksi yang berlebihan terhadap suatu masalaha pekerjaan, akan dapat kita
pahami bila kita mengerti betapa pentingnya soal karir bagi harga diri seorang
pria. Dengan mengerti hal ini, para wanita dapat menghindari perasaan-perasaan
dilukai atau kecewa yang tidak perlu.
4. Secara
verbal pria kurang ekspresif dibandingkan wanita
Lebih sukar pria untuk mengenali dan
menyatakan perasaan. Mereka hanya menyatakan perasaan-perasaan pada seorang
wanita pada awal-awal suatu hubungan, yaitu pada saat dorongan hubungan itu
sedang paling tinggi. Bila masa pacaran sudah lewat, mereka akan kembali pada
bentuk lamanya yang tidak terbuka.
Wanita lalu merasa bahwa mereka telah
ditipu atau bahwa pasangan mereka kini telah sudah berkurang kesetiannya
dibanding dulu. Pernyataan emosional yang tidak konsisten itu diartikan sebagai
kemunduran dari komitmen emosional. Padahal sebenernya yang terjadi hanyalah,
para pria itu telah kembali pada bentuk aselinya sebelum pacaran.
Karena para pria kurang ekspresif, mereka
sering dinilai sebagai tak punya perasaan. Ini salah sama sekali. Banyak pria
generasi tua kesukaran untuk mengatakan “aku cinta padamu” pada isteri atau
anak-anaknya meskipun perbuatannya sebenarnya telah cukup menunjukkan
pengabdiannya. Pria-pria ini telah dibiasakan bahwa bersikap ekspresif secara
emosional tidak akan mendapatkan ganjaran yang memadai. Baru pada masa kini
mereka diberitahu bahwa menyatakan perasaan, kemesraan atau ketersinggungan
bisa dibenarkan. Makanya para pria yang kini usianya sudah diatas empat puluh tahun
tetap memiliki pola kewaspadaan model lama.
Para pria yang kini berusia kurang dari
empat puluh tahun umumnya lebih leluasa untuk bicara mengenai perasaan mereka.
Apakah hal ini masih akan berubah sejalan dengan zaman akan kita lihat bersama.
Untuk sementara perlu disimpulkan bahwa wanita perlu lebih mengenali perhatian
seorang pria pada perbuatannya.
5. Pria
memilki kebutuhan lebih besar terhadap kekuasaan
Banyak pria mengalami kesukaran dalam
hubungan-hubungan di mana mereka merasakan dirinya sebagai pihak yang kalah
kuasa dalam hubungan itu. Sejak kanak-kanak, mereka telah tumbuh dengan
berbagai permainan yang memerankan kekuasaan. Dalam pertumbuhan mereka, ada
kebiasaan untuk mengagumi tokoh-tokoh yang berada dalam posisi pemimpin atau penguasa.
Maka tidak mengherankan apabila tidak
mudah bagi para pria untuk menerima dan menjalani hubungan-hubungan yang
didasarkan atas kesamaan derajat.banyak pria bersedia membagi kekuasaannya,
terlebih bila mereka melihat keuntungannya bagi mereka. Bila pria merasa
terperosok dalam suatu peran yang “kalah”, mereka merasa harga dirinya kurang
berharga.
Bila seorang isteri memasuki dunia
pekerjaan lalu ia menginginkan perubahan-perubahan dalam struktur keluarga,
timbulah masalah. Masalah-masalah seperti ini sebaiknya dipecahkan secara
negoisasi,bukan dengan konfrontasi. Pria cenderung akan meraasa lebih terlibat
jika mereka diminta memikirkan suatu penyelesaian. Cara ini lebih baik daripada
ia dihadapkan padas eorang lawan bicara yang sedang emosional dan tak dapat
dimengerti. Perubahan bisa saja diterima tapi umumnya lebih bisa diterima oleh
pria jika perubahan itu berlangsung secara bertahap.
6. Terhadap
perkawinannya pria lebih tergantung dan lebih peka
Karena pria tidak punya banyak sumber
untuk dukungan emosional, mereka lebih membutuhkan dukungan dari pasangannya
dan lebih kecewa jika tidak mendapatkannya. Sayang kebanyakan pria merasa malu
untuk mengakui rasa kesepiannya atau rasa disakiti. Seringkali mereka bahkan
tak tahu bagaimana sebenarnya perasaannya. Yang umum terjadi adalah bahwa rasa
ditinggalkan ,ereka nyatakan dalam bentuk kemarahan. Ini yang sering kurang
dipahami oleh para wanita.
7. Kebanyakan
pria lebih berorientasi makro daripada mikro
Mereka kurang perfeksionis dan kurang
tanggap terhadap nuansa-nuansa. Contoh yang paling jelas ttentang perbedaan ini
adalah bila seorang pria diserahi tanggung jawab dalam hal yang tadinya
merupakan urusan isterinya, pekerjaan rumah tangga misalnya. Si isteri akan
mengharapkan agar pria mengerjakan tugas itu sebagaimana ia biasa
mengerjakannya. Kekurangan dalam hal
pengerjaan itu dinilai isteri sebagai suatu gangguan atau hambatan.
Kadang-kadang seorang isteri membebani pasangannya dengan instruksi-instruksi
terinci yang menakutkan. Mereka tak mengerti mengapa pasangannya lalu
memberontak.
Kebanyakan pria cenderung lebih suka
bertanggung jawab dengan cara menganggap tugas-tugas itu sebgai suatu masalah
untuk dipecahkan dengan cara mereka sendiri. Menawarkan tugas itu secara
musyawarah akan lebih dihargai daripada memberikan suatu daftar instruksi
“lakukan ini itu” dan jangan “ini itu”. Mungkin tugas itu memang tidak akan
dilaksanakan persis seperti kehendak wanita, tapi yang terpenting tugas itu
terselesaikan.
Sumber:
SusantoAgus.1989.WanitaSuper.Yogyakarta:Kanisius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar