PEMBAHASAN
A.
Definisi
Kurikulum
Perkataan kurikulum dikenal sebagai suatu istilah
dalam dunia pendidikan sejak kurang lebih satu abad yang lampau. Perkataan ini
belum terdapat dalam kamus Webster
tahun 1812 dan baru timbul untuk pertama kalinya dalam kamus pada tahun 1856.
Artinya pada waktu itu ialah: “1. a race course; a place for running; a
chariot;. 2. a course in general; applied particulary to the course of study in
a university”. Jadi dengn “kurikulum” yang dimaksud adalah suatu jarak yang
harus ditempuh oleh pelari atau kereta dalam perlombaan, dari awal sampai
akhir. “kurikulum” juga berarti “chariot” semacam kereta pacu pada zaman dulu,
yaitu suatu alat yang membawa seorang dari “start” sampai “finis”. Disamping
penggunaan “kurikulum” semula dalam bidang olahraga, kemudia juga dipakai dalam
bidang pendidikan, yakni sejumlah mata kuliah diperguruan tinggi.
Dalam kasus Webster
tahun 1955 “kurikulum” diberi arti khusus yang digunakan dalam pendidikan dan
pengajaran, yakni sejumlah mata pelajaran di sekolah atau mata kuliah di
perguruan tinggi, yang harus ditempuh untuk mencapai suatu ijazah atau tingkat.
“Kurikulum” juga berarti keseluruhan pelajaran yang disajikan oleh suatu
lembaga pendididikan.
A.1 Beberapa
Definisi Kurikulum
Seperti telah dikemukakan diatas, perubahan zaman
menuntut kurikulumbaru dan sering juga pengertian baru mengenai makna kurikulum
itu sendiri. perubahan zaman memberi tugas-tugas baru kepada sekolah,
diantaranya tugas-tugas yang sedia kala dipikul oleh lembaga-lembaga lain
seperti rumah tangga, pemerintah, petugas agama, dll. Dengan bertambahnya
tanggungjawab sekolah timbulah berbagai macam definisi kurikulum, seingga
semakin sukar memastikan apakah sebenarnya kurikulum itu. Akhirnya, setiap
pendidik, setiap guru harus menentukan sendiri apakah kurikulum itu bagi
drinya. Pengertian yang dianut oleh seseorang kan mempengaruhi kegiatan
belajar-mengajar dalam kelas maupun diluar kelas.
Dibawah ini sejumlah definisi kurikulum menurut
beberapa ahli kurikulum
1. J. Galen Saylor dan
William M. Alexander dalam buku Curriculum Planning for Better Teaching and
Learning (1956) menjelaskan arti kurikulum sebagi berikut. “The Curicullum
is the sum total of the school’s efforts to incluence learning, wheter in the
classroom, on the playground, or out of school.” Jadi, segala usaha sekolah
untuk mempengaruhi anak belajar, apakah dalam ruangan kelas, dihalaman sekolah
atau diluar sekolah termasuk kurikulum. Kurikulum meliputti juga apa yang
disebut kegitan ekstra-kulikuler
2. Harold B. Albertycs.dalam Reorganizing the High-School Curicullum (1965) memandang kurikulum
sebagai “all of the activites that are provided for students by the school”.
Seperti halnya dengan definisi Saylor dan Alexander, kurikulum tidak terbatas
pada mata pelajaran, akan tetapi juga meliputi kegiatan-kegiatan lain, didalam
dan diluar kelas, yang berada dibawah tanggung jawab sekolah. Definisi melihat
manfaat kegiatan dan pengalaman siswa diluar mata pelajaran tradisonal
3. B.
Othanel Smith, W.O Stanley, danJ. Harlan Shores memandang bahwa
kurikulum sebagai “a sequence of potential experinces set up in te school for
the purpose of disclipining children and youth in group ways of thinking and
acting.” Mereka melihat kurikulum sebagai sejumlah pengalaman yang secara
potensial dapat diberikan kepada anak dan pemuda, agar mereka dapat berpikir an
berbuat sesuai dengan masyrakatnya.
4. William B.Ragan, dalam
buku Modern Elementary curriculum
(1966) menjelaskan arti kurikulum sebagai “The tendency in recent decades has
been to ude the termin in a boarder sense to refer to the whole life and
program of the school. The term is
used…….to included all the experiences of children for which the school accept responsibility.
It denotes the results of efforts on the part of re adults of the community,
and the nation to bring to the children the finest, most whole some incluences
that exits in the culture.”
Ragan
menggunakan kurikulum dalam arti yang luas, yang meliputi selurh program dan
kehidupan dalam sekolah, yakni segala pengalaman anak dibawah tanggungjawab
sekolah. Kurikulum tidak hanya meliputi bahan pelajaran tetapi juga meliputi
kehidupan dalam kelas. Jadi hubungan sosial antar guru dan murid, metode
mengajar, cara mengevaluasi termasuk kurikulum.
5. Joy. Lloyd Trump dan
Delmas F. Miller dalam buku secondary School Improvemant (1973) juga
menganut definisi kurikulum yang luas. Menurut mereka dalam kurikulum juga
termasuk metode mengajar dan belajar, cara mengevluasi murid dan seluruh
program, perubahan tenaga mengajar, bimbingan dan penyuluhan, supervise dan
administrasidan hal-hal structural mengenai waktu, jumlah ruanagan serta
kemungkinan memilih mata pelajaran. Ketiga aspek pokok, program, manusia dan fasilitas sangat
erat hubungannya sehingga tak mungkin diadakan perbaikan kalau tidak
diperhatikan ketiga-tiganya.
6. Alice Miel
juga menganut pendirian yang luas mengenai kurikulum. Dalam bukunya Changing the Curicullum : a Social Process (1946)
ia mengemukakan bahwa kurikulum juga meliputi kadaan gedung, suasana sekolah,
keinginan, keyakinan, pengetahuan dan sikap-sikap orang melayani dan dilayani
sekolah, yakni anak didik, masyarakat, para pendidik dan personalia 9termasuk
penjaga sekolah, pegawai administrasi dan orang lainnya yang ada hubungnnya
dengan murid-murid). Jadi kurikulum meliputi segala pengalaman di sekolah.
Definisi Miel tentang kurikulum sangat luas yang
mencakup dan meliputi bukan hanya pengetahuan, kecakapan, kebiasaan-kebiasaan,
sikap, apresiasi, cita-cit serta norma-norma, melainkan juga pribdi guru,
kepala sekolah, serta seluruh pegawai sekolah.
Tak semua ahli kurikulum menganut pendirian yang
begitu luas. Hilda Taba berpendapat
bahwa definisi yang terlampau luas mengaburkan pengertian kurikulum sehingga
menghalangi pemikiran dan pengolahan yang tajam tentang kurikulum. Hilda taba
mengungkapkan, bahwa pada hakikatnya tiap kurikulum merupakan suatu cara untuk
mempersiapkan anak agar berpartisipasi sebagi anggota yang produktif dalam
masyarakatnya.
7. Edward A. Krug dalam
The Secondary School Curicullum
(1960) menunjukkan pendirian yang terbatas tetapi realistis tentang kurikulum.
Definisinya ialah “A Curricullum Consist of the means used to achieve or carry
out given purposes of schooling”. Kurikulum dilihatnya sebgai cara-cara dan
usaha untuk mencapaitujuan persekolahan. Ia membedakan tugas sekolah mengenai
perkembangan anak dan tanggung jawab lembaga pendidikan lainnya seperti rumah
tangga, lembaga agama, masyarakat, dll. Ia dengan sengaja menggunakan istilah
“zchooling” untuk menjelaskan apa yang sebenarnya tugas sekolah. Memborong
segala tanggung jawab atas pendidikan anak merupakan beban yang terlampau berat
sehingga tidak mungkin dilakukan dengan baik.
A.2 Definisi
Kurikulum secara luas
Berbagai tafsiran tentang kurikulum dapat kita
tinjau dari segi lain, sehingga kita peroleh penggolongan sebagai berikut :
Ø Kurikulum
dapat dilihat sebagai produk, yakni
sebagai hasil karya para pengembang kurikulum, biasanya dalam suatu panitia
Ø Kurikulum
dapat pula dipandang sebagai program,
yakni alat yang dilakukan oleh sekolah untuk mencapai tujuannya.
Ø Kurikulum
dipandang sebagai hal-hal yang diharapkan akan dipelajari siswa, yakni pengetahuan,
sikap, keterampilan tertentu. Apa yang diharapkan akan dipelajari tidak sealu
sama dengan apa yang benar-benar dipelajari
Ø Kurikulum
sebagai pengalaman siswa. Ketiga
pandangan diatas berkenaan dengan perencanaan kurikulum sedangkan pandangan ini
mengenai apa yang secara actual menjadi kenyataan pada tiap siswa.
B.
Konsep
Kurikulum
i.
Kurikulum
Sebagai Rencana Pelajaran
Konsep
kurikulum sebagai suatu program atau rencana pembelajaran, tampaknya diikuti
oleh para ahli kurikulum dewasa ini, seperti Donald E. Orlosky dan B. Othanel
Smith (1978) dan Peter F. Oliva (1982), yang menyatakan bahwa kurikulum pada
dasarnya adalah suatu perencanaan atau program pengalaman siswa yang diarahkan
sekolah.
Kurikulum sebagai suatu rencana
tampaknya juga sejalan dengan rumusan kurikulum menurut Undang-Undang
pendidikan kita yang dijadikan sebgai acuan dalam penyelenggaraan sistem
pendiidkan. Menurut UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
dikatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
belajar mengajar. Yang dimaksud dnegan isi dan bahan pelajaran itu sendiri
adalah susunan dan bahan kajian dan peljaran untuk mencapai tujuan penyelenggaraan
suatu pendidiakan yang bersangkutan dalam rangka upaya mencapai tujuan
pendidikan nasional.
Batasan menurut undang-undang itu tampak
jelas, bahwa kurikulum memiliki dua aspek pertama sebagai rencana (as a plan)
yang harus dijadikan sebgai pedoman dalam pelaksanaan proses belajar mengajar
oleh guru dan kedua pengaturan isi dan cara pelaksanaan rencana itu yang
keduanya digunakan sebgai upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Kurikulum sebagai suatu rencana tertulis
memang mudah dipahami, sebab knsep itu jelas sasarannya dan mudah untuk diukur
akan tetapi, konsep yang terlalu sempit juga dianggap tidak menguntungkan. Hal
ini seperti dikemukakan oleh Zeis (1976) jika kita ingin mengevaluasi
kurikulum, kita tidak hanya mengevaluasi rencana saja, tetapi mengevaluasi
keberhasilan pelaksanaan kurikulum tertulis itu pada peserta didik. Oleh karena
itu kurikulum tidak hanya menyangkut rencana akan tetapi bagaimana pelaksanaan
rebcana itu. Jadi, antara kurikulum sebagai sebuah rencana dengan kuurikulum
sebagai sebuiah pernyataan tidak dapat dipisahkan. Hal ini sejalan dengan
pendapat Murray Print (1993) menyatakan :“Curriculum
is defined as all the palnned learning opportunities offered to learner by the
educational institution and the expreriences learners encounter when the
curriculum is implemented”.
Perlu
kita pahami, bahwa sekolah didirikan untuk membimbing peserta didik agar
berkembang sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Ini berarti titik sentral
kurikulum adalah anak didik itu sendiri. Perkembangan anak didik akan tercapai
apabila dia memperoleh pengalaman belajar melalui kegiatan yang disajikan
sekolah, baik melalui mata pelajaran maupun kegiatan lainnya. Oleh karena itu
seperti yang dikatakan Zais, kurikulum sebgai suatu rencana pembelajaran harus
bermuara pada perolehan pengalaman peserta didik yang sengaja dirancang untuk
mereka miliki. Akhirnya kita simak juga pendapat Skill Beck dan Harris (1976)
yang menyatakan bahwa kurikulum bukanlah
materi pelajaran yang terpisah yang harus disampaikan dan dipelajari melainkan
bentuk pengalaman dan kebudayaan individu yang harus dipelihara dan
dimodifikasi. Dengan demikian, dalam
kurikulum harus mencakup dua sisi yang sama penting, yaitu perencanaan pembelajaran
serta bagaimana perencanaan iytu diimplementasikan menjadi pengalaman belajar
siswa dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan.
Kurikuum dapat diartikan sebagai sebuah
dokimen perencanaan yang berisi tentang tujuan yang harus dicapai, isi materi
dan pengalaman belajar yang harus dilakukan siswa, strategi dan cara yang dapat
dikembangkan, evaluasi yang dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang
pencapian tujuan, serta implementasi dari dokumen yang dirancang dalam bentuk
nyata. Dengan demikian, pengembangan kurikulum meliiputi penyusunan dokumen,
implementasi dokumen serta evaluasi dokumen yang telah disusun.
ii.
Kurikulum
Sebagai Pengalaman
Banyak tokoh yang menganggap kurikulum
sebagai pengalaman, di antaranya adalah Hollis L. Caswell dan Campbell (1935),
yang menyatakan bahwa kurikulum adalah “...
all of the experiences children have under the guidance of teacher”.
Demikian juga dengan Dorris Lee dan Murray Lee (1940) yang menyatakan kurikulum
sebagai : “... those experience of the child which the school in any way utilizes
or attempts in influence”. Lebih jelas lagi dikemukakan oleh H. H. Giles, S. P
McCutchen, dan A.N. Zechiel: “... the
currriculum..the total experience with which the school deals in educating
young people”.
Pergeseran pemaknaan kurikulum dari
sejumlah mata pelajaran kepada pengalaman, selain disebabkan meluasnya fungsi
dan tanggung jawab sekolah, juga dipengaruhi oleh penemuan-penemuan dan
pandangan-pandangan baru khususnya penemuan dalam bidang psikologi belajar.
Pandangan baru dlam ppsikologi menganggap bahwa belajar itu bukan mengumpulkan
sejumlah pengetahuan, akan tetapi proses perubahan perilaku siswa. Dengan
demikian, siswa telah belajar manakala telah memiliki perubahan perilaku. Tentu
saja perubahan perilaku itu akan terjadi manakala siswa memiliki pengalaman
belajar. Oleh sebba itu dalam proses belajar, pengalaman dianggap lebih penting
daripada hanya sekedar menumpuk sejumlah pengteahuan.
Kalaulah kurikulum dianggap sebagai
pengalaman atau seluruh aktivitas siswa, maka untuk memahami kurikulum sekolah
tidak cukup hanay dengan melihta dokumen kurikulum sebgai suatu program
tertulis, akan tetapi juga bagaimana proses pembelajaran dilakukan anak didik
baik disekoalah maupun diluar sekolah. Hal ini harus dipahami, sebab kaitannya
sangat erat dengan evaluasi keberhasilan pelaksanaan suatu kurikulum, yaitu
bahwa pencapaian target pengalaman belajar kurikulum tidak hanya diukur dari
kemampuan siswa menguasai seluruh isi atau materi pelajaran seperti yang
tergambar dari hasil tes sebagai produk belajar, akan tetapi juga harus dilihat
proses atau kegiatan siswa sebagai pengalaman belajar.
Bagaimana menentukan dan mengukur
pengalaman belajar itu? Bukanlah pekerjaan sederhana. Segala bentuk perilaku
siswa merupakan hasil dari pengalamannya yang tidak mungkin dapat dikontrol
guru. Oleh sebab itu, kurikulum sebagai suatu pengalaman dianggap bebrapa ahli
sebagai konsep yang luas. Dan karena keluasannya itulah maka makna kurikulum
menjadi kabur dan tidak fungsional.
iii.
Kurikulum
Sebagai Hasil Belajar
Evaluasi
(penilaian) hasil belajar siswa merupakan salah satu kegiatan manajemen
kurikulum. Evaluasi berguna dan bertujuan untuk mendapatkan umpan balik (feed
back) bagi pendidik tentang sejauh mana tujuan instruksional (pengajaran) telah
tercapai, sehingga dapat diketahui apakah guru masih harus memperbaiki
langkah-langkah yang ia tempuh dalam kegiatan mengajar.
Bagi siswa,
hasil evaluasi akan menunjukkan kepada mereka betapa keberhasilan mereka dalam
kegiatan belajar yang pernah mereka lakukan. Secara garis besar, evaluasi
belajar di sekolah dapat dibedakan atas:
1. Tes Formatif, evaluasi/ penilaian berupa tes (soal-soal, pertanyaan) yang
dilakukan setelah satu pokok bahasan selesai dipelajari
2. Tes Sumatif, evaluasi/ penilaian berupa tes (soal-soal, pertanyaan) yang
dilakukan setelah kegiatan belajar mengajar berlangsung dalam jangka waktu
tertentu. Misalnya setelah satu caturwulan atau satu semester.
Tes hasil
belajar berguna membantu siswa dalam mengambil
keputusan tentang rencana pendidikan dan membantu sekolah menilai berbagai
aspek kurikulum yang menggambarkan kemajuan belajar siswa.Kurikulum dan hasil belajar merupakan salah satu komponen kurikulum
berbasis kompetensi yang memuat kompetensi dasar, hasil belajar dan indikator. Kompetensi dasar adalah, pernyataan yang
diharapkan dapat diketahui, disikapi dan dilakukan siswa. Hasil belajar adalah,
pernyataan kemampuan siswa yang diharapkan dalam menguasai sebagian atau
seluruh kompetensi yang ditetapkan. Indikator adalah, kompetensi dasar secara
spesifik yang dapat dijadikan ukuran untuk menilai ketercapaian hasil
pembelajaran.
Menurut Mc.
Ashan, kompetensi adalah suatu pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan atau
kapabilitas yang dimiliki oleh seseorang yang
telah menjadi bagian dari dirinya sehingga mewarnai prilaku kognitif, afektif
dan psikomotoriknya.Dari pendapat ini, maka jelaslah suatu kompetensi harus
didukung oleh pengetahuan, sikap dan apresiasi, artinya tanpa pengetahuan dan
sikap tidak mungkin muncul suatu kompetensi tertentu.
Sejalan dengan
pendapat tersebut, Gordon (1988), menjelaskan beberapa aspek yang harus
terkandung dalam kompetensi, yaitu:
1.
Pengetahuan (knowledge)
2.
Pemahaman (understanding)
3.
Ketrampilan (skill)
4.
Nilai (value)
5.
Sikap (attitude)
6.
Minat (interest)
Dari uraian di atas, maka
kompetensi bukan hanya ada dalam tataran pengetahuan akan tetapi sebuah
kompetensi harus tergambar dalam pola prilaku.
Hasil belajar
siswa diklasifikasikan ke dalam tiga ranah
(domain), yaitu:
1. Ranah (domain) Kognitif, pengetahuan yang mencakup kecerdasan bahasa dan
kecerdasan logika.
2. Ranah (domain) Afektif, sikap dan nilai yang mencakup kecerdasan antar
pribadi, dengan kata lain kecerdasan emosional
3. Ranah (domain) Psikomotor, ketrampilan yang mencakup kecerdasan kinestetik,
kecerdasan visual-spasial dan kecerdasan musikal.
Cara penilaian yang dilakukan
untuk mengetahui kemampuan siswa harus dirancang dengan memperhatikan hal-hal
berikut:
1.
Mengacu pada kurikulum
2.
Bersifat adil bagi seluruh siswa
3. Dapat memberi informasi yang lengkap sebagai umpan balik
4. Bermanfaat bagi siswa untuk mengetahui kekuatan dan kelemahannya
5. Dilaksanakan
tanpa menekan siswa atau dalam suasana yang menyenangkan.
6.
Diadministrasi secara tepat dan efesien
Evaluasi hasil belajar dapat
dilakukan dengan penilaian kelas, tes kemampuan dasar, penilaian akhir satuan
pendidikan dan sertifikasi serta penilaian program. Kurikulum berbasis
kompetensi akan berhasil dilaksanakan jika diterapkan pola belajar aktif karena
pola ini mampu mengembangkan seluruh kompetensi secara optimal. Jika pola ini
diterapkan, beragam cara dan alat penilaian harus pula diterapkan, terutama
cara-cara unjuk kerja, produk, portopolio dan tingkah laku.
C.
DIMENSI
KURIKULUM
Setiap pengertian kurikulum bukan hanya menunjukkan
rumusan definisi dalam bentuk pernyataan atau pernyataan tanpa makna, tetapi
juga menggambarkan scope and squences isi
kurikulum, komponen-komponen kurikulum, dan aspek-aspek kegiatan kurikulum.
William H.Schubert (1986), merinci pengertian kurikulum dalam berbagai dimensi,
yaitu “kurikulum sebagai content atau
subject matter, kurikulum sebagai
program of planned activites,
kurikulum sebagai intended learning outcomes, kurikulum sebagai cultural reproduction, kurikulum sebagai experience, kurikulum
sebagai discrete tasks and concepts, kurikulum
sebagai agenda for social reconstruction, dan
kurikulum sebagai currere”.
George A. Beauchamp (1975) berpendapat ada empat
kurikulum yang saling berhubungan yaitu “kurikulum suatu ide atau konsepsi,
kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, kurikulum sebagai suatu kegiatan
(proses), dan kurikulum sebagai suatu hasil belajar”. Dari beberapa pendapat
tersebut dapat di simpulkan bahwa paling tidak ada enam dimensi kurikulum,
yaitu:
1. Kurikulum
sebagai suatu ide
Ide atau konsep kurikulum bersifat dinamis, dalam
arti akan selalu berubah mengikuti perkembangan zaman, minat dan kebutuhan
peserta didik, tutuntutan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi. Ide
atau gagasan tentang kurikulum hanya ada
dalam pemikiran seseorang yang terlibat dalam proses pendidikan, baik secara
langsung maupun tidak langsung, seperti Kepala Dinas Pendidikan, pengawas,
kepala sekolah, guru, peserta didik, orng tua dan sebagainya. Ketika orang
berfikir tentang tujuan sekolah, materi
yang harus di sampaikan kepada peserta didik, objek evaluasi , maka
itulah dimensi kurikulum sebagai suatu ide atau konsepsi. Ide atau konsep
kurikulum setiap orang tentu berbeda ,
sekalipun orang tersebut berada dalam satu keluarga. Dimensi kurikulum sebagai
suatu ide, biasanya dijadikan langkah awal dalam pengembangan kurikulum, yaitu
ketika melakukan studi pendapat. Dari sekian banyak ide-ide yang berkembang
dalam studi pendapat tersebut, maka akan di pilih dan di tentukan ide-ide mana
yang di anggap paling kreatif, inovatif dan konstruktif sesuai dengan visi misi
dan tujuan pendidikan nasional.
Pemilihan
ide-ide tersebut akan di pilih dalam
sebuah pertemuan konsultatif berdasarkan tingkat penggambilan keputusan yang
tinggi. Di Indonesia, pengambilan keputusan yang tertinggi adalah Mentri
Pendidikan Nasional. Beliau juga sebagai penentu kebijakan kurikulum yang
berlaku secara nasional. Ide-ide mendiknas dituangkan dalam sebuah kebijakan
umum sampai menjadi dimensi kurikulum sebagai rencana.
2. Kurukulum
sebagai suatu rencana tertulis
Dimensi kurikulum sebagai rencana biasanya tertuang
dalam suatu dokumen tertulis. Dimensi ini menjadi banyak perhatian orang,
karena wujudnya dapat di lihat, mudah di baca dan di analisis. Dimensi
kurikulum ini pada dasarnya merupakan realisasi dari dimensi kurikulum sebagai
ide. Aspek-aspek penting yang harus di bahas antara lain :
a. Pengembangan
tujuan dan kompetensi
b. Struktur
Kurikulum
c. Kegiatan
dan Pengalaman Belajar
d. Organisasi
Kurikulum
e. Manajemen
Kurikulum
f. Hasil
Belajar
g. Sistem
Evaluasi
Kurikulum sebagai ide harus mengikuti pola dan
ketentuan-ketentuan kurikulum sebagai rencana. Dalam peraktiknya, seringkali
kurikulum sebagai rencana dapat mengalami kesulitan, karena ide-ide yang ingin
di sampaikan terlalu umum dan banyak yang tidak di mengerti oleh para pelaksana
kurikulum.
3. Kurikulum
sebagai suatu kegiatan
Kurikulum sebagai dimensi ini merupakan kurikulum
yang sesungguhnya terjadi di lapangan (real
curriculum). Banyak ahli kurikulum yang masih mempertentangkan dimensi ini,
dalam arti apakah suatu kegiatan termasuk kurikulum atau bukan. Misalnya,
MacDonald (1965), Jhonson (1971), Popham dan Baker (1970), Inlow (1973), dan
Beauchamp, kurikulum adalah dukumen yang masuk dalam dimensi rencana, sedangkan
ahli lainnya melihat kurikulum sebagai hasil belajar. banyak juga ahli
kurikulum lain mengatakan suatu kegiatan atau proses termasuk kurikulum,
seperti Frost dan Rowland (1969), Zais (1976), Egan (1978), Hunkins (1980),
Tanner and Tanner (1980), serta Schubert (1986).
Kurikulum harus di maknai dalam suatu kesatuan yang
utuh. Jika suatu kegiatan tidak termasuk kurikulum berarti semua kegiatan di
sekolah maupun di luar sekolah tidak termasuk kurikulum. Padahal yang di
peroleh peserta didik di sekolah maupun di luar sekolah merupakan refleksi dan
realisasi dari dimensi kurikulum sebagai suatu rencana tertulis. Apa yang di
lakukan peserta didik di kelas juga merupakan impelmentasi kurikulum. Artinya
antara kurikulum sebagai ide dengan kurikulum sebagai kegiatan (proses)
merupakan suatu rangkaian yang berkesinambungan, suatu kesatuan yang utuh.
Tidak ada alasan untuk mengatakan dimensi kurikulum sebagai suatu kegiatan
bukan merupakan kurikulum, karena semua kegiatan di sekolah maupun di luar
sekolah atas tanggung jawab sekolah merupakan dari kurikulum.
4. Kurikulum
sebagai hasil belajar
Hasil belajar adalah kurikulum tetapi kurikulum
bukah hasil belajar. Pernyataan ini perlu dipahami sejak awal, karena banyak
orang tau bahwa hasil belajar merupakan bagian dari kurikulum, tetapi kurikulum
bukan hanya hasil belajar. Banyak orang yang tidak tahu bahwa pengertian
kurikulum dapat di lihat dari dimensi hasil belajar, karena memang tidak di
rumuskan secara formal. Hasil belajar bukan satu-satunya objek evaluasi
kurikulum. namun demikian, hasil belajar dapat di jadikan sebagai salah satu
dimensi pengertian kurikulum. Evaluasi kurikulum ditunjukan untuk mengetahui
efektifitas dan efesiensi kurikulum, sedangkan fungsinya adalah untuk
memperbaiki, menyempurnakan atau mengganti kurikulum dalam dimensi sebagai rencana.
Hasil belajar sebagai bagian dari kurikulum terdiri atas berbagai dominan,
seperti pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai. Secara teoristis
hasil belajar juga dapat di pengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor
guru, peserta didik, sumber belajar, dan lingkungan. Menurut Zaenal Arifin
(2009) hasil belajar memiliki beberapa fungsi utama, yaitu “sebagai indicator
kualitas dan kuantitas pengetahhuan yang telah di kuasai oleh peserta didik,
sebagai lambing penguasaan hasrat ingin tahu, sebagai bahan informasi dan
inovasi pendidikan, sebagai indicator interen dari suatu institusi pendidikan,
dan dapat di jadikan indicator terhadap daya serap (kecerdasan) peserta didik.”
5. Kurikulum
sebagai suatu disiplin ilmu
Sebagai suatu disiplin ilmu, berarti kurikulum
memiliki konsep, prinsip, prosedur, asumsi,dan teori yang dapat di analisis dan
di pelajari oleh pakar kurikulum , peneliti kurikulum, guru atau calon guru,
kepala sekolah, pengawas atau tenaga kependidikan lainnya yang ingin
mempelajari tentang kurikulum.
6. Kurikulum
sebagai suatu system
Sistem kurikulum merupakan bagian tak terpisahkan
dari system pendidikan, system persekolahan dan system masyarakat. suatu system
kurikulum di sekolah merupakan system tentang kurikulum apa yang akan di susun
dan bagaimana kurikulum itu di laksanakan. dapat di katakana bahwa system
kurikulum mencakup tahap-tahap pembangunan kurikulum itu sendiri, mulai dari
perencanaan kurikulum, pelaksannaan kurikulum, evaluasi kurikulum, perbaikan
dan penyempurnaan kurikulum. Kurikulum sebagai suatu system juga menggambarkan
tentang komponen-komponen kurikulum.
D. Fungsi Kurikulum
Di samping memiliki peranan,
kurikulum juga mengemban berbagai fungsi tertentu. Alexander Inglis, dalam
bukunya Principle of Secondary (1918), mengatakan bahwa kurikulum berfungsi
sebagai fungsi penyesuaian, fungsi pengintegrasian, fungsi deferensiasi, fungsi
persiapan, fungsi pemilihan, dan fungsi diagnostik.
o
Fungsi Penyesuaian
Fungsi penyesuaian mengandung makna
kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu mengarahkan siswa agar memiliki
sifar well adjusted 11 yaitu mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan, baik
lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.
o
Fungsi Integrasi
Fungsi integrasi mengandung makna
bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu menghasilkan
pribadi-pribadi yang utuh. Siswa pada dasarnya merupakan anggota dan bagian
integral masyarakat.ke jenjang yang lebih tinggi.
o c. Fungsi
Diferensiasi
Mengandung makna bahwa kurikulum
sebagai alat pendidikan harus mampu memberikan layanan terhadap perbedaan
individusiswa. Setiap siswa memiliki perbedaan baik dari aspek fisik maupun
psikis.
o Fungsi
persiapan
Mengandung makna bahwa kurikulum
sebagai alat pendidikan harus mampu memprsiapkan siswa melanjutkan studi ke jenjang
pendidikan yang lebih.
o Fungsi
pemilihan
Mengandung
makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu memberikan kesempatan
kepada siswa untuk memilih program-program belajar yang sesuai dengan kemampuan
dan minatnya. Fungsi pemilihan ini sangat erat kaitannya dengan fungsi
diferensiasi karena pengakuan atas adanya perbedaan individual siswa berarti
pula diberinya kesempatan bagi siswa tersebut untuk memilih apa yang sesuai
dengan minat dan kemampuannya.
Fungsi diagnostik
Mengandung
makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu membantu dan
mengarahkan siswa untuk dapat memahami dan menerima potensi dan
kelemahan-kelemahan yang ada pada dirinya. Maka diharapkan siswa dapat
mengembangkan sendiri potensi yang dimilikinya aau memperbaiki
kelemahan-kelemahannya.
E.
Peranan
Kurikulum
Sebagai program pendidikan yang
telah di rencanakan secara sistematis, kurikulum mengemban peranan yang sangat
penting bagi pendidikan siswa. Apabila di analisis sifat dari masyarakat dan
kebudayaan, dengan sekolah sebagai institusi sosial dalam melaksanakan
operasinya,maka dapat di tentukan paling tidak tiga peranan kurikulum yang
sangat penting yakni :
1)
Peranan Konservatif
Salah satu tugas dan tanggung jawab sekolah sebagai suatu lembaga
pendidikan adalah mewariskan nilai-nilai dan budaya masyarakat kepada generasi
muda yakni siswa. Siswa perlu memahami dan menyadari norma-norma dan pandangan
hidup masyarakatnya, sehingga ketika mereka kembali ke masyarakat mereka dapat
menjunjung tinggi dan berperilaku sesuai dengan norma-norma tersebut. Peran
konservatif kurikulum adalah melestarikan berbagai nilai budaya sebagai warisan
masa lalu. Dikaitkan dengan era globalisasi sebagai akibat kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, yang memungkinkan mudahnya pengaruh budaya asing
menggerogoti budaya lokal, maka peran konservatif dalam kurikulum memiliki arti
yang sangat penting. Melalui peran konservatifnya, kurikulum berperan dalam menangkal
berbagai pengaruh yang dapat merusak nilai-nilai luhur masyarakat, sehingga
keajegan dan identitas masyarakat akan tetap terpelihara dengan baik. Peranan
ini menekankan bahwa kurikulum dapat dijadikan sebagai sarana untuk
mentransmisikan nilai-nilai warisan budaya yang dianggap masih relevan dengan
masa kini kepada generasi muda, dalam hal ini para siswa.
2)
Peranan Kreatif
Apakah tugas dan tangung jawab sekolah
hanya sebatas pada mewariskan nilai-nilai lama? Ternyata juga tidak. Sekolah
memiliki tanggung jawab dalam mengembangkan hal-hal baru sesuai dengan tuntunan
zaman. Sebab, pada kenyataannya masyarakat tidak bersifat statis, akan tetapi
dinamis yang selalu mengalami perubahan. Dalam rangka inilah kurikulum memiliki
peran kreatif. Kurikulum harus mampu menjawab setiap tantangan sesuai dengan
perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang cepat berubah. Dalam peran
kreatifnya, kurikulum harus mengandung hal-hal baru sehingga dapat membantu
siswa untuk dapat mengembangkan setiap potensi yang dimilikinya agar dapat
berperan aktif dalam kehidupan sosial masyarakat yang senan tiasa bergerak maju
secara dinamis. Mengapa kurikulum harus berperan kreatif? Sebab, manakala
kurikulum tidak mengandung unsur-unsur baru maka pendidikan selamanya akan
tertinggal, yang berarti apa yang diberikan di sekolah pada akhirnya akan
kurang bermakna, karena tidak relevan lagi dengan kebutuhan dan tuntutan sosial
masyarakat.
Dalam proses pengembangan kurikulum ketiga
peran di atas harus berjalan secara seimbang. Kurikulum yang terlalu
menonjolkan peran konservatifnya cenderung akan membuat pendidikan ketinggalan
oleh kemajuan zaman; sebaliknya kurikulum yang terlalu menonjolkan peran
kreatifnya dapat membuat hilangnya nilai-nila budaya masyarakat.
Sesuai dengan peran yang harus ”dimainkan” kurikulum
sebagai alat dan pedoman pendidikan, maka isi kurikulum harus sejalan dengan
tujuan pendidikan itu sendiri. Mengapa demikian? Sebab, tujuan yang harus
dicapai oleh pendidikan pada dasarnya mengkristal dalam pelaksanaan perannya
itu sendiri. Dilihat dari cakupan dan tujuannya menurut McNeil (1990) isi
kurikulum memiliki empat fungsi, yaitu 1) fungsi pendidikan umum (Common and
General Education). 2) Suplementasi (Supplementation), 3) Eksplorasi
(Esploration) dan 4). Keahlian (Specialization). Peranan kreatif
menekankan bahwa kurikulum harus mampu mengembangkan sesuatu yang baru sesuai
dengan perkembangan yang terjadi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat pada masa
sekarang dan masa mendatang.
3)
Peranan Kritis dan Evaluatif
Apakah setiap nilai dan budaya lama harus diwariskan kepada setiap anak
didik? Apakah setiap nilai dan budaya baru sesuai dengan perkembangan zaman
juga harus dimiliki oleh setiap anak didik ? Tentu tidak. Tidak setiap nilai
dan budaya lama harus tetap dipertahankan, sebab kadang-kadang nilai dan budaya
lama itu sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat; demikian
juga ada kalanya nilai dan budaya baru itu juga tidak sesuai dengan nilai-nilai
lama yang masih relevan dengan keadaan dan tuntutan zaman. Dengan demikian
kurikulum berperan untuk menyeleksi nilai dan budaya mana yang perlu
dipertahankan, dan nilai atau buadaya baru yang mana yang harus dimiliki anak
didik. Dalam rangka inilah peran kritis dan evaluatif kurikulum diperlukan.
Kurikukum harus berperan dalam menyeleksi dan mengevaluasi segala sesuatu yang
dianggap bermanfaat untuk kehidupan anak didik. Peranan ini dilatarbelakangi
oleh adanya kenyataan bahwa nilai-nilai dan budaya yang hidup dalam masyarakat
senantiasa mengalami perubahan, sehingga pewarisan nilai-nilai dan budaya masa
lalu kepada siswa perlu disesuaikan dengan kondisi yang terjadi pada masa
sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Hamalik, Oemar. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum.
Bandung. PT REMAJA ROSDAKARYA, 2011
Nasution, S. Asas-asas Kurikulum. Jakarta. Bumi
Aksara. 2008
Sanjaya, Wina. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta.
KENCANA PRENADA GROUP. 2010
Arifin,
Zainal (2013), Konsep dan Model
Pengembangan Kurikulum, Cetakan Ke-3, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar