DIMENSI-DIMENSI KURIKULUM
William
H.Schubert (1986), merinci pengertian kurikulum dalam berbagai dimensi, yaitu
“kurikulum sebagai content atau subject
matter, kurikulum sebagai program
planned activities, kurikulum sebagai intended
learning outcomes, kurikulum sebagai cultural
reproduction, kurikulum sebagai experience,
kurikulum sebagai discrete tasks and
concepts, kurikulum sebagai agenda for
social reconstruction, dan kurikulum
sebagai currere”.
S.Hamid
Hasan (1988), berpendapat bahwa ada empat dimensi kurikulum yang saling
berhubungan, yaitu “ kurikulum sebagai suatau ide atau konsepsi, kurikulum
sebagai suatu rencana tertulis, kurikulum sebagai suatu kegiatan (proses), dan
kurikulum sebagai suatu hasil belajar”. Selanjutnya Nana Sy. Sukmadinata (2005)
meninjau kurikulum dari tiga dimensi, yaitu “ kurikulum sebagai ilmu, kurikulum
sebagai sistem, dan kurikulum sebagai rencana”.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa paling tidak ada
enam dimensi kurikulum, yaitu :
1.
Kurikulum
Sebagai Suatu Ide
Ide atau
konsep kurikulum bersifat dinamis, dalam arti akan selalu berubah mengikutip perkembangan
zaman, minat dan kebutuhan peserta didik, tuntutan masyarakat, ilmu pengetahuan
dan teknologi. Ide atau gagasan tentang kurikulum hanya ada dalam pemikiran
seseorang yang terlibat dalam proses pendidikan, baik secara langsung maupun
tidak langsung, seperti kepala dinas pendidikan, pengawas, kepala sekolah,
guru, peserta didik, dan orang tua. Ketika orang berpikir tentang tujuan
sekolah, materi yang harus disampaikan kepada peserta didik, kegiatan yang
dilakukan oleh guru, orang tua, dan peserta didik, objek evaluasi, maka itulah
dimensi kurikulum sebagai suatu ide atau konsepsi. Paling tidak itulah konsep
kurikulum menurut mereka. Ide atau konsepsi kurikulum setiap orang tentu
berbeda, sekalipun orang-orang tersebut berada dalam satu keluarga. Perbedaan
ide dari orang-orang tersebut sangat penting untuk dianalisis bahkan dapat
dijadikan landasan pengembangan kurikulum.
Dimensi
kurikulum sebagai suatu ide, biasanya dijadikan langkah awal pengembangan kurikulum,
yaitu ketika melakukan studi pendapat. Dari sekian banyak ide-ide yang
berkembang dalam studi tersebut, maka akan dipilih dan ditentukan ide-ide mana
yang dianggap paling kreatif, inovatif, dan konstruktif sesuai dengan visi-misi
dan tujuan pendidikan nasional. Pemilihan ide-ide tersebut pada akhirnya akan
dipilih dalam sebuah pertemuan konsultatif berdasarkan tingkat pengambilan
keputusan yang tinggi. Di Indoonesia, pengambilan keputusan yang tertinggi
adalah Menteri Pendidikan Nasional. Beliau juga sebagai penentu kebijakan
kurikulum yang berlaku secara nasional. Mengingat pengaruhnya yang begitu kuat
dan besar, sera memiliki kedudukan yang startegis, maka tim pengembang
kurikulum biasanya akan mengacu pada ide atau konsep kurikulum menurut menteri
tersebut. Selanjutnya, ide-ide MENDIKNAS dituangkan dalam sebuah kebijakan umu
sampai menjadi dimensi kurikulum sebagai rencana.
2.
Kurikulum
Sebagai Suatu Rencana Tertulis
Dimensi
kurikulum sebagai rencana biasanya dituangkan dalam suatu dokumen tertulis.
Dimensi ini menjadi banyak perhatian orang, karena wujudnya dapat dilihat,
mudah dibaca dan dianalisis. Dimensi kurikulum ini pada dasarnya merupakan
realitas dari dimensi kurikulum sebagai ide. Aspek-aspek penting yang perlu
dibahas, antara lain : mengembangkan tujuan dan kompetensi, struktur kurikulum,
kegiatan dan pengalaman belajar, organisasi
kurikulum, manajemen kurikulum, hasil belajar, dan sistem evaluasi. Kurikulum
sebagai suatu ide harus mengikuti pola dan ketentuan-ketentuan kurikulum
sedagai rencana banyak mengalami kesulitan, karena ide-ide yang ingin
disampaikan terlalu umum dan banyak yang tidak dimengerti oleh para pelaksana
kurikulum.
3.
Kurikulum
Sebagai Suatu Kegiatan
Kurikulum
dalam dimensi ini merupakan kurikulum yang sesungguhnya terjadi dilapangan (real curriculum). Peserta didik mungkin
saja memikirkan kurikulum sebagai ide, tetapi apa yang dialaminya merupakan
kurikulum sebagai kenyataan. Anatara ide dan pengalaman mungkin sejalan, tetapi
mungkin juga tidak. Banyak ahli kurikulum yang masih mempertentangkan dimensi
ini, dalam arti apakah suatu kegiatan termasuk kurikulum atau bukan. Misalnya ,
MacDonald (1965), Johnson (1971), Popham dan Baker (1970), Inlow (1973), dan
Beauchamp (1975) tidak menganggap suatu kegiatan sebagai kurikulum. Bagi
Beauchamp, Kurikulum adalah a written
document yang masuk dalam dimensi rencana, sedangkan ahli lainnya melihat
kurikulum hanya sebagai hasil belajar. Meskipun demikian, banyak juga ahli
kurikulum lain yang mengatakan suatu kegiatan atau proses termasuk kurikulum,
seperti Frost dan Rowland (1969), Zais (1976), Egan (1978), Hunkins (1980),
Tanner and Tanner (1980), serta Schubert (1986).
Kurikulum
harus dimaknai dalam satu kesatuan yang utuh. Jika suatu kegiatan tidak
termasuk kurikulum berarti semua kegiatan di sekolah atau di luar sekolah
(seperti program pelatihan profesi, kuliah kerja nyata, dan lain-lain) tidak
termasuk kurikulum. Dengan demikian, hasil belajar peserta didik di sekolah
maupun diluar sekolah merupakan refleksi dan realisasi dari dimensi kurikulum
sebagai rencaana tertulis. Apa yang dilakukan peserta didik dikelas juga
merupakan implementasi kurikulum. Artinya, antara kurikulum sebagai ide dengan
kurikulum sebagai kegiatan (proses) merupakan suatu rangkaian yang
berkesinambungan, suatu kesatuan yang utuh. Tidak ada alasan untuk mengatakan
dimensi kurikulum sebagai suatu kegiatan bukan merupakan kurikulum, karena
semua kegiatan di sekolah maupun di luar sekolah atas tanggung jawab sekolah merupakan bagian dari
kurikulum.
4.
Kurikulum
Sebagai Hasil belajar
Hasil
belajar adalah kurikulum, tetapi kurikulum bukan hasil dari belajar. Pernyataan ini perlu dipahami sejak awal,
karena banyak orang tahu bahwa hasil belajar merupakan bagian dari kurikulum,
tetapi kurikulum bukan hanya hasil belajar. Banyak juga orang tidak tahu bahwa
pengertian kurikulum dapat dilihat dari dimensi hasil belajar, karena memang
tidak dirumuskan secara formal. Begitu juga ketika dilakukan evaluasi secara
formal tentang kurikulum, pada umumnya orang selalu mengaitkannya dengan hasil
belajar. Sekalipun, evaluasi kurikulum sebenar jauh lebih luas dari pada
penilaian hasil belajar. Artinya, hasil belajar bukan satu-satunya objek
evaluasi kurikulum. Meskipun demikian, hasil belajar dapat dijadikan sebagai
salah satu dimensi pengertian kurikulum. Evaluasi kurikulum ditunjukan untuk
mengetahui efektivitas dan efisiensi kurikulum, sedangkan fungsinya adalah
untuk memperbaiki, menyerpurnakan atau mengganti kurikulum dalam dimensi
sebagai rencana.
Hasil
belajar sebagai bagian dari kurikulum
terdiri atas berbagai domain, seperti
pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai. Secara teoritis, domain
hasil belajar tersebut dapat dipisahkan, tetapi secara praktis domain tersebut
harus bersatu. Hasil belajar juga banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor,
diantaranya faktor guru, peserta didik, sumber belajar, dan lingkungan.
Kurikulum sebagai hasil belajar merupakan kelanjutan dan dipengaruhi oleh
kurikulum sebagai kegiatan serta kurikulum sebagai ide. Menurut Zainal Arifin
(2009) hasil belajar memiliki beberapa fungsi utama, yaitu “ sebagai indikator
kualitas dan kuantitas pengetahuan yang telah dikuasai peserta didik, sebagai
lambang pemuasan hasrat ingin tahu, sebagai bahan informasi dalam inovasi
pendidikan, sebagai indikator inter dan ekster dari suatu institusi pendidikan,
dan dapat dijadikan indikator terhadap daya serap (kecerdasan) peserta didik”.
5.
Kurikulum
Sebagai Suatu Disiplin Ilmu
Sebagai
suatu disiplin ilmu, berarti kurikulum memiliki konsep, prinsip, prosedur,
asumsi, dan teori yang dapat dianalisis dan dipelajari oleh pakar kurikulum,
peneliti kurikulum, guru atau calon guru, kepala sekolah, pengawas atau tenaga
kependidikan lainnya yang ingin mempelajari tentang kurikulum. Di Indonesia,
pada tingkat sekolah menengah pertama pernah ada Sekolah Pendidikan Guru (SPG),
Sekolah Guru Atas, Pendidikan Guru Agama (PGA) dan lain-lain. Pada tingkat
Universitas ada juga program studi pengembangan kurikulum, baik dijenjang S.1
(Sarjana), S.2 (Magister), maupun S.3 (Doktor). Semua peserta didiknya wajib
mempelajari tentang kurikulum. Tujuan kurikulum sebagai suatu disiplin ilmu
adalah untuk mengembangkan ilmu tentang kurikulum dan sistem kurikulum.
6.
Kurikulum
Sebagai Suatu Sistem
Sistem
berasal dari bahasa Latin (systema)
dan bahasa Yunani (sustema) adalah
suatu kesatuan yang terdiri komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk
memudahkan aliran informasi, materi atau energi untuk mencapai tujuan.
Sistem
kurikulum merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan, sistem
persekolahan, dan sistem masyarakat.
Suatu sistem kurikulum di sekolah merupakan sistem tentang kurikulum apa
yang akan disusun dan bagaimana kurikulum itu dilaksanakan. Lebih jauh lagi
dapat dikatakan bahwa sistem kurikulum mencakup tahap-tahap pengembangan
kurikulum itu sendiri, mulai dari perencanaan kurikulum, pelaksanaan kurikulum,
evaluasi kurikulum, perbaikan dan penyempurnaan kurikulum. Kurikulum sebagai
suatu sistem juga menggambarkan tentang komponen-komponen kurikulum.
Kurikulum dapat
dikatakan sebagai suatu sistem,
mengapa? Karena kurikulum memiliki tujuan yang satu dan memiliki
komponen-komponen yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya seperti
sistem. Sistem adalah suatu kesatuan sejumlah elemen (objek, manusia,
kegiatan, informasi, dsb) yang terkait dalam proses atau struktur dan dianggap
berfungsi sebagai satu kesatuan organisasi dalam mencapai satu tujuan.
Jika pengertian di atas dipadukan, maka sangat mungkin
dapat dikatakan bahwa kurikulum merupakan suatu sistem, karena ada sejumlah
komponen dalam terbentuknya kurikulum yang saling berkaitan dan terikat, dan
memiliki tujuan yang utuh. Jika suatu sistem kurikulum dapat di analogikan
dengan organisme manusia yang memiliki susunan anatomi tubuh tertentu.
sumber:ArifinZainal.(2011).KonsepdanModelPengembanganKurikulum.Bandung:PTRemaja Rosdakarya.
sumber:ArifinZainal.(2011).KonsepdanModelPengembanganKurikulum.Bandung:PTRemaja Rosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar