Modernisasi:tinjauan islami
Pengertian yang mudah tentang
modernisasi ialah pengertian yang identik,atau hampir identik,dengan pengertian
rasionalisasi.dan hal itu berarti proses perombakan pola berfikir dan
tata-kerja lama yang tidak akliah(rasional),dan menggantinya dengan pola
berfikir dan tata- kerja baru yang akliah.kegunaannya ialah untuk memperoleh
daya guna dan efisiensi yang maksimal.hal itu dilakukan dengan menggunakan
penemuan mutakhir manusia dibidang ilmu pengetahuan.sedangkan ilmu
pengetahuan,tidak lain ialah hasil pemahaman manusia terhadap hukum-hukum
objektif yang menguasai alam,ideal dan material,sehingga alam ini berjalan
menurut kepastian tertentu dan harmonis.
Orang yang bertindak menurut ilmu
pengetahuan(ilmiah) beratrti bertindak menurut hukum alam yang berlaku.oleh
karena tidak melawan hukum alam,malahan menggunakan hukum alam itu sendiri,ia
memperoleh daya guna yang tinggi.jadi,sesuatu dapat disebut modern,kalau ia
bersifat rasional,ilmiah dan bersesuaian dengan hukum-hukum yang berlaku dalam
alam.sebagai contoh: sebuah mesin hitung termodern dibuat dengan rasionalitas
yang maksimal,menurut penemuan ilmiah yang terbaru,dan karna itu penyesuaiannya
dengan hukum alam paling mendekati kesempurnaan.
Rasionalisme dan agama baru
Rasionalisme adalah suatu faham yang mengakui kemutlakan
rasio,sebagaimana yang dianut oleh kaum komunis.maka seorang rasionalis adalah
seorang yang menggunakan akal fikirannya secara sebaik-baiknya,ditambah dengan keyakinan
bahwa akal pikirannya itu sanggup menemukan kebenaran,sampai yang merupakan
kebenaran terakhir sekalipun.sedangkan islam hanya membenarkan
rasionalitas,yaitu dibenarkannya menggunakan akal pikiran oleh manusiadalam
menemukan kebenaran-kebenaran.
Modernisasi,yang berarti
rasionalisasi,pusat pembicaraan ini tentunya dikenakan dalam aspek kehidupan
kita seluas mungkin.pada permulaan pembahasan telah dikemukakan bidang berpikir
dan tata kerja nya.bidangnya bersifat konkret material,seperti sistem
pertnian,perhubungan,proses produkssi di pabrik-pabrik dan lain-lain;dan yang
bersifat tidak material,seperti perbaikan sosial ekonomi dan politik.maka disinilah dalam masalah-masalah
yang bersifat konkret dan material,manusia mungkin dapat mengadakan
penelaahan,kemudian menarik hukum-hukum umumnya(membuat generalisasi),denga sikapyang objektif.misalnya,dalam hal
perlistrikan.dalam hal listrik ini,mnusia dapat bersikap,sesubjektif mungkin
dalam penelaahan,penyelidikan dn akhirnya penyimpulan hukum-hukumnya, sehingga
memungkinkan ditemukannya teori (ilmu)
yang benar tentang listrik.dan begitulah kenyataannya,manusia dimana saja ia
berada,diameruika ataupun di rusia,di afrika ataupun di asia ,menganut
hukum-hukum dan teori-teori yang sama tentang benda tersebut (listrik),dan karenanya
menyelesaikan masalah-masalah yang menyangkut benda itu dengan cara dan teknik
yang sama.
Akan tetapi,bagaimankah sikap
manusia yang menyangkut dirinya sendiri ,yaitu dalam maalah-masalah pergaulan
sesama manusia (sosial,malahan juga
tentang kehidupan dirinya sendiri). Dalam hal ini manusia tidak mungkin
melepaskan diri dari subjektifitas nya dan anggapan-anggapan yang telah
dipunyai demi memenuhi pikirannya.ketika manusia mengadakan pengamatan terhadap
masalah-masalah kemanusiaan,menyelidiki hukum-hukum yang menguasai hubungan
sesama manusia,ia tidak sanggup lagi bertindak subjektif mungkin..hal itu
mengakibatkan hukum-hukum yang disimpulkan oleh manusia tentang manusia
sendiri,yang mengenai masalah-masalah kehidupannya sebagai makhluk sosial,tidak
bisa lepas dan bersih dari anggapan-anggapan yang telah dipunyai sebelumnya
.akibatnya,ilmu yang ditariknya menjadi tidak benar,bersifat subjektif.inilah
yang menyebaabkan berbeda-bedanya faham manusia tentang sistem-sistem
sosial,ekonomi dan politik,yang mengatur perikehidupan manusia sebagai makhluk
sosial dari tempat ke tempat . pada masa sekarang ini , semua orang sudah tau
pertentangan diametral antar kelompok manusia yang menganut sistem komunisme-totaliteralisme.
Islam memberikan jawaban yang tegas,
bahwa tidak satupun dari kedua sistem itu yang benar. Sebab, jika dalam hal
benda-benda material saja rasio manusia tidak sanggup menemukan kenyataan
(realitas) terakhir yang merupakan ultimate truth, sebagaimana diakui Einstein, apalagi tentang hal yang bukan material,
seperti masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik. Apalagi, dalam hal yang
kedua ini manusia tidak sanggup bersikap objektif. Oleh karena itu, sekali
lagi, manusia memerlukan pengajaran dari tuhan, pencipta manusia, pengatur atau
pemberi hukum bagi kehidupannya, baik yang bersifat individual maupun komunal,
sebagaimana Tuhan itu pula adalah pencipta seluruh alam, pengatur atau pemberi
hukum kepadanya. Jadi, manusia harus kembali kepada ajaran Tuhan terutama dalam
usahanya untuk menemukan dan mencari masalah-masalah normatif yang bersifat
asasi. Sedangkan dalam masalah-masalah operatif, manusia masih diberikan
kelonggaran seluas-luasnya untuk menemukannya sendiri, dengan mengerahkan
segenap kemampuan akal pikirannya.
Dengan perkataan lain, secara
singkat, dalam kegiatannya yang meliputi bidang apapun dari kehidupannya,
manusia harus mencari dasarnya didalam prinsip ketuhanan yang maha esa. Kembali
ke sekularisme. Masih ada sesuatu yang harus diterangkan sedikit. Oleh karena
kaum sekularis tidak mau menjadikan agama (baca: ajaran tuhan yang maha esa)
sebagai sumber norma-norma asasi dalam kehidupan duniawinya, sesuai dengan
ketentuan bahwa manusia harus mempunyai sekumpulan keyakinan untuk menopang
peradaban yang hendak diciptakannya, kaum sekularis pun kemudian menciptakan
sekumpulan gagasan sikap dan kepercayaan yang nantinya menjelma menjadi suatu
kesatuan keyakinan yang menyerupai agama. Mengingat bahwa kaum sekularis pada
pokoknya menyandarkan diri kepada kemampuan diri manusia sebagai sumber bagi
penemuan nilai-nilai yang mutlak diperlukan dalam membina kehidupan, maka
perkataan yang paling meliputi dan umum dipakai untuk menamakan sekumpulan
gagasan, sikap dan kepercayaan itu ialah perkataan humanisme.
Dalam hubungannya dengan masalah
ini, Julian Huxxley, seorang humanis
terkenal, dengan tegas mengatakan bahwa humanisme adalah sebuah agama baru.
Karena mempercayai akan adanya evolusi kemanusiaan menemukan nilai-nilai
kebenaran (sampai kebenaran terakhir), dia menamakannya humanisme evolusioner.
Tentang humanisme ini, dia menulis sebuah buku dengan judul Religion without
Revelation (Agama tanpa Wahyu) dan dalam bukunya, Evolution in Action, dia
mengatakan sebagai berikut: “saya terpaksa menggunakan perkataan agama sebab,
kenyataan bahwa semuanya ini membentuk sesuatu dalam hakikat agama, barang kali
orang dapat menamakannya humanisme evolusioner. Perkataan ‘agama’, sering
dipakai secara terbatas, dengan arti kepercayaan kepada dewa-dewa; tetapi saya
tidak memakainya dalam pengertian ini-dengan sendirinya saya tidak ingin
melihat seorang manusia diangkat menjadi dewa, sebagaimana terjadi pada
beberapa orang pada masa silam, dan masih terjadi sampai hari ini. Saya
menggunakannya dalam penelitian yang lebih jelas untuk menunjukan suatu hubungan
menyeluruh antara seseorang dan nasibnya, serta sesuatu yang menyangkut
perasaannya tentang apa yang suci. Dalam pengertian yang luas ini, humanisme
evolusioner, bagi saya, tampaknya dapat dijadikan benih suatu agama, yang tidak
usah menyingkirkan agama-agama yang ada dengan menggantikan agama-agama itu.
sekarang tinggal mencari jalan bagaimana agar benih-benihnya dapat berkembang
untuk mengerjakan kerangka intelektualnya, bagaimana caranya supaya
gagasan-gagasan itu dapat memberikan inspirasi, dan untuk meyakinkan
penyebarannya yang luas”. Jadi jelas, bahwa humanisme adalah sebuah agama baru
hasil ciptaan manusia. Tidak seperti agama-agama lainnya ia tidak berbicara
tentang Tuhan. Tetapi, seperti agama-agama lainnya membicarakan sesuatu yang
sangat prinsipal, yaitu penentuan nasib manusia, dan pengertian tentang sesuatu
yang bersifat suci. Dan mereka percaya bahwa humanisme berlaku dimana saja dan
kapan saja: universal malahan abadi.
Sebenarnya, tokoh-tokoh humanisme
meliputi suatu strata sempit masyarakat barat, yang terdiri dari kaum etnik
pandai. Dan kesemuanya berlomba-lomba menulis buku yang menuliskan dengan agama
baru itu. untuk menyebutkan sebagian saja, kami kemukakan disini sebagaimana
yang diterangkan oleh A.J. Bahm: Charles Francis Potter menulis buku Humanism
is a New Religion; Roy Wood Sellar menulis buku Religion Coming of Age; Durant
Drake menulis buku The New Morality; Corliss Lamont dengan bukunya, Humanism is
a Philosophy; dan lain-lain.
Oleh karena sekularisme merupakan
keharusan bagi humanisme, Horrace menulis buku Secularism is the Will of God.
Dan pragmatisme pun merupakan unsur penting way of life, menurut humanisme.
Maka disini pun perlu disebutkan buku William James, Pragmatism, A New Name for
Some Old Ways of Thingking.
Pada
1933, kaum humanis, mengeluarkan sebuah manisfesto yang dinamakan, “A Humanist
Manifesto”, dikeluarkan di Chicago, dan ditanda tangani oleh 34 penanda tangan.
Mukadimah manifesto itu menyebutkan: “Agama selalu merupakan jalan untuk
melaksanakan nilai-nilai tertinggi kehidupan.” Tetapi ada suatu bahaya yang
besar untuk mengidentikkan perkataan agama dengan doktrin-doktrin dan
metode-metode yang telah kehilangannya artinya dan kehilangan kekuatan untuk
dapat menyelesaikan masalah kehidupan manusia pada abad kedua puluh dan
seterusnya.
Sekuler dan Sekulerisme
Penggunaan istilah sekuler dan
sekulerisme pada masa kini secara garis besar adalah sebuah ideologi yang
menyatakan bahwa sebuah institusi atau badan harus berdiri terpisah dari agama
atau kepercayaan. Sekulerisme dapat menunjang kebbebasan beragama dan
kebebebasan dari pemaksaan kepercayaan dengan menyediakan sebuah rangka yang
netral dalam masalah kepercayaan serta tidak menganakemaskan sebuah agama
tertentu.
Sekulerisme juga menunjuk pada anggpan
bahwa aktivitas dan penentuan manusia, terutama yang politis, harus didasarkan
pada apa yang dianggap sebagai bukti konkret dan fakta, bukan berdasarkan
pengaruh keagamaan. Tujuan dan argumrn yang mendukung sekulerisme beragam.
Dalam laisisme eropa, diusulkan bahwa
sekulerisme adalah gerakan menuju modernisassi dan menjauh dari nilai-nilai
keagamaan tradisional. Tipe sekulerisme ini, pada tingkat sosial dan
filsafatsering terjadi ketika masih memelihara gereja negara yang resmi atau dukungan kenegaraan lainnya terhadap
agama. Istilah sekulerisme pertama kali digunakan oleh penulis inggris George
Holyoake pada tahun 1846. Walaupun istilah yang digunakan adalah baru, konsep
kebebasan berpikir yang darinya sekulerisme didasarkan, telah ada sepanjang sejarah.
Ide-ide sekuler yang menyangkut pemisahan filsafat dan agama dapat dirunut baik
ke ibnu rusdi dan aliran filsafat averoisme. Holyoake menggunakan istilah
sekulerisme untuk menjelaskan pandangannya yang mendukung tatanan sosial
terpisah dari agama, tanpa merendahkan atau mengkritik sebuah kepercayaan
beragama. Sebagai seorang agnostik, Holyoake berpendapat bahwa sekulerisme
bukanlah argumen melawan kekeristenan , namun terpisah dari itu.
Sekulerisme tidak mengatakan bahwa tidak
ada keuntungan atau penerangan dari ideologi lain, namun memelihara bahwa ada
penerangan dari tuntunan di dalam kebenaran sekuler, yang kondisi dan sangsinya
berdiri secara mandiri dan berlaku selamanya. Penegtahuan sekuler adalah
pengetahuan yang didirikan didalam hidup ini, berhubungan dengan hidup
ini, membantu tercapainya kesejahteraan
didunia ini, dan dapat diuji noleh pengalaman didunia ini.
Barry Kosmin dari institut pengkajian
sekulrisme didalam masyarakat dan budaya membagi sekulerisme mutakhir menjadi dua
jenis, yaitu sekulerisme keras dan sekulerime lunak menurutnuya, “sekulerisme
keras menganggap pernyataan keagamaan tidak mempunyai legitimasi secara
epistemologi dan tidak dijamin baik oleh agama dan pengalama.” Namun, dalam pandangan sekulerisme lunak, pencapaian
kebenaran mutlak adalah mustahil dan oleh karena itu, toleransi dan skeptisme
harus menjadi prinsip dan nilai yang dijunjung dalam diskusi anatara ilmu
pengetahuan dan agama.
Sebelum membahas ilmaniah (sekulerisme),
kita harus mengetahui maknanya secara detail. Sebab, menurut ahli ilmu logika,
menghukumi sesuatu merupakan bagian dari pemahaman tentangnya. Terutama
istilah-istilah seperti ini, jika kita tidak memberikan batasan yang jelas dan
detail, setiap orang menginterpretasikannya dengan semaunya ilmaniah adalah
terjemahan dari bahasa aarab yang salah dari kata eseckulerism dalam bahsa
inggris atau secularit atau seculhrique dalam bahasa prancis, yakini suatu
istilah yang sama sekali tidak ada hubungnnya dnegan kata ilmu.
Dalam bahsa inggris atau bahasa
perancis, ilmu adalah science, alirannya disebut scientism, sedangkan
penisbatan kepada ilmu, kita mengatakannya dnegan scientific atau dalam bahasa perancisnya
adalah scientifique. Adanya imbuhan alif dan nun pada kata alim dalam bahsa
arab adalah bersifat sima’i untuk penisbatan, seperti kata robani penisbatan
kepada rabbyangt akhirnya muncul kata-kata seperti ruhani, ngapsani, dan
sebagainya. Lalu muncul pula kata-kata seperti akhlani, syakhsany, dan ilmany.
Bahsasa arab yang benar dari
“secularism” atau secularit adalah ladiniah atau duniawiyah yang maknanya tidak
hanya ukharawi, tetapi juga memiliki makna yang lebih spesifik, yakini sesuatu
yang tidak ada kaitannya dengan dien/agama atau sesuatu yang hubungannya dengan
agama adalah hubungan lawan.
Diterjemahkan kata “ secularism” atau
“secularit” kedalam bahasa arab dengan “iilmaniah” atau “ almaniah” karena
penerjemahannya tidak memahami kata-kata “dien” dan “ilmu” dengan makna yang
sebenarnya, tetapi memahaminya dengan pemahaman barat masehi, dimana kedua kata
ini (dien dan ilmu) bagi mereka adalah dua hal yang bertentangan. Yakni,
sesuatu yang bersifat agama tidaklah berkaitan dengan ilmu, begitu juga
sebaliknya. Dengan perkataan lain, ilmu begitu juga sebaliknya. Dengan
perkataan lain, ilmu dan akal merupakan lawan agama.
Ungkapan yang besar terhdapa kata-kata
“sekularisme” adalah tampak pada apa yang disebutkan dalam sejumlah kamus dan
ensiklopedia asing. Misalnya, dalam Ensiklopedia Britania disebutkan bahwa
“sekularisme” adalah sebuah gerakan kemasyarakatan yang bertujuan memalingkan
dari kehidupan akhirat dengan semata-mata berorientasi pada dunia. Gerakan ini
dilancarkan karena pada abad-abad pertengahan, orang sangat cenderung kepada
allah dan akhirat serta menjauhi dunia sekularisme tamil untuk menhadapinya dan
untuk mengusung kecendrungan manusia yang pada abad kebangkitan, orang
menampakkan ketergantungan yang besar terhadap aktualisasi kebudayaan dan
kemanusiaan serta kemungkinan terealisasinya ambisi mereka terhadap dunia.
Lalu, orientasi pada sekularisme yang merupakan gerakan perlawanan terhadap
agama dan ajaran masehi terus berlanjut di celah –celah sejarah modern
seluruhnya.
Dalam kamus Dunia baru, Wipster merinci
makna sekulerisme dengan menyebutkan sebagai berikut:
Semangat
keduniaan atau orientasi “ duniawi” dan sejenisnya. Secara khusus adalah
undang-undang dari kekumpulan prinsip dan praktik (prastisces) yang menolak
setiap bentuk keimanan dan ibadah. Keyakinan bahwa agama dan agama dapat dan
urusan-urusan dan geraja tidak dihubungkan sama sekali dengan soal-soal
pemerintahan terutama soal pendidikan umum.
Sementara itu, dalam kamus oxfoerde disebutkan adalah modern
ketiga disebutkan bahwa “sekularisme artinya bersifat kedunia an materialisme
bukan kegamaan dan tuhannya. Seperti pendidikan sekuler, seni atau musik sekuler, pemerintahan sekuler, pemerintahan
yang bertentangan gereja. Sekulerisme adalah pendapat yang mengatakan adalah
yang mengatakan bahwa agama tidak layak menjadi pondasi akhlak dan pendidikan.
Sementara itu, dalam kamus
internasional modern ketiga disebutkan bahwa sekularisme adalah suatu pandangan
dalam hidup atau dalam satu maslah yang berprinsip bahwa agama tau hal-hal yang
bernuansa agama tidak boleh masuk ke dalam pemerrintahan atau
pertimbangan-pertimbangan keagamaan harus dijauhkan darinya. Maksudnya adlah
politik sekuler murni dalam pemerintahan, misalnya yang terpisah sama sekali
dari agama.
Selain itu, sekularisme adalah undang-undang akhlak sosial yang berlandskan
pemikiran yang mewajibkan ditegakkan nilai-nilai perilaku dan moral menurut kehidupan
modern dan solidaritas sosial tanpa memandang agama. Adapun seorang
orientasi bernama Arberriy dalam bukunya, Ad-Dienfi Asy-Syariq Al-Awsaih,
mengatakan berkenan dengan sekularisme sebagai berikut: materialisme sekuler
dan humanistik serta aliran naturalisme semuanya merupakan bentuk dari
sekularisme sebagai ciri khas eropa dan amerika yang fenomenanya tampak di
timur tengah. Ia tidak membuat satu model pun dlam filsafat etika tertentu.
Daftar Pustaka
Madjid,
Nurkholis. (1987).Islam Kemodernan Dan KeIndonesiaan. Bandung: PT Mizan Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar