KELUARGA
DAN PERANAN WANITA
KEDUDUKAN HUKUM WANITA INDONESIA DI HINDIA BELANDA
1. BEBERAPA
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEDUDUKAN HUKUM WANITA INDONESIA
Kedudukan sendiri yang menurut
golonan dan fungsinya ditentukan oleh jenisnya. Dalam keadaan tidak atau belum
menikah dan dalam kehidupan keluarga serta family ataupun dalam kehidupan umum
dari kelompok organis iini, maka wanita itu selalu dianggap sebagai wakil dari
golongan yang tersendiri, seperti halnya dengan golongan prianya hanya
merupakan setengah bagian yang satu memerlukan yang lainnya sebagai pelengkap
untk bersama-sama membentuk suatu kesatuan hidup yang organis dan harmois.
Perbedaan ini, tetapi juga sinttese, dilanjutkan pada semua lingkungan hidup
(bandingkan misalnya pembagian perkerjaan dalam keluarga).
Hubungan
pria terhadap wanita adalah sebgai pihak yang memimpin terhadap yang dipimpin,
yang aktif terhadap yang fasif ataupun (dengan menjamin istilah indonesia yang
bisa dipakai) sebagai yang lebih tua terhadap yang lebih muda, berikut segala
akibat dari hubungan semacam itu. Konsekuensi itu, karena keadaan, dapat
mengakibatkan hal-hal yang diluar batas, sehingg si wanita berada dalam keadaan
tertekan dan di peras dan menjadi hamba serta bawahan si pria. Di dalm praktek
tidak di semua tempat dan tidak selalu
dilaksanakan dengan cara yang sama dan tergantung dari suku, daerah ataupun
keadaan-keadaan lain mengenai hal ini nanti akan lebih banyak lagi dikemukakan
kadang-kadang menunjukan perbedaan-perbedaan penting.
Sementara dalam garis besarnya
kedudukan wanita indonesia menurut golongan dan fungsinya di tentukan oleh
jenisnya, yang terpenting diantaranya ialah :
1. Sistem
susunan keluarga yang berlaku di daerah tertentu (mengikuti garis keturunan
bapak, ibu , atau orangtua).
2. Faktor-faktor
sosial dan ekonomis, terutama yang menyangkut piliihan tempat tinggal suami
istri serta pernikahan.
3. Perbedaan
tingkat sosial dan akhirnya.
4. Pengaruh
dari salah satu diantara 3 aliran agama dunia, dalam urutan kronologis : agama
Hindu, Islam, dan Kristen.
2. Pengaruh
sistem hubungan keluarga.
Bentuk susunan keluarga dapat
mengikuti satu garis saja atau patrilineal (menurut garis keturunan bapak) atau
matrilineal (menurut garis keturunan ibu), dimana hubungan keluarga dan dengan
demikian kedudukan dalam kelompok di teruskan secara sepihak oleh anak
laki-laki dalam garis pria atau oleh anak peremouan oleh garis wanita. Bentuk
susunan keluarga dapat juga bersifat bilateral (mengikuti garis keturunan
orangtua atau parental),
Dimana semua anak (perempuan maupun
laki-laki) meneruskan garih hubungan keluarga kedua orangtua masing-masing;
anak-anak permpuan maupun laki-laki dapat mewariskan harta family atau keluarga
yang mungkin ada dan melanjutkann kedudukan dalam kedua garis keturunan.
Sistim susunan keluarga sepihak
menurut garis keturunan ibu (matrilineal) di Hindia Belanda teristimewa
terdaapat di Minangkabau (Sumatera Barat) dan di daerah dimana orang-orang
Minangkabau menetap sebagai penduduk (kolonisasi) diminang kabau tengah masih
dalam bentuk asli dan dilaksanakannya secara konsekuen, dan didaerah pinggiran
dan diaerah kolonisasi umumnya sudah terjalin dengan sistem garis orang tua
(parental). Sitem garis turunan bapak (patrilineal) lebih banyak terdapat
(antara lain di Sumatera Selatan dan Tengah, Di Maluku, dan Ambon, di Timor dan
Bali).
Susunan
sepihak dalam bentuk patrilineal atau matrilineal terutama terdapat
ditempat-tempat dimana rakyat seluruhnya atau sebgaian besar maish tersusun
secara genealogis dan mungkin ada hubungannya dengan organisasi rakyat yang
asli tetapi sekarang sudah sangat khusuk dimasyarakat terbagi-bagi dalam
suku-suku, bagan-bagan suku (phrattries) dan bagian-bagian suku eksogan (clan)
yang satu dengan lainnya mempunyai hubungan perkawinan (conubioum).
Kedudukan
hukum wanita indonesia dengan demikian langsung terpengaruhi ooleh sistem
susunan keluarga yang berlaku. Sehingga biasanya dijadikan patokan apakah anak
perempuan yang telah menikah, dengan anak-anaknya, akan meneruskan garis
keturunan dan kekayaan orangtuanya sendiri (parental) atau salahsatu dari kedua
itu (menurut garis ibu) atau dari kedua-duanya (menurut garis ayah).
3. Pengaruh
faktor-faktor sosial dan ekonomi
Ada
faktor-faktor lain (dari pada sususnan keluarga) yang mempunyai pengaruh
terhadap kedudukan wanita yaitu faktor-faktor yang sifatnya sosial ekonomis,
terutama berhubungan pemilihan tempat tempat tinggal setelah kawin (siistri
yang mengikuti suaminya kekeluarganya atau sisuami yang pindah kekeluarga
istri) dan bentuk perkawinan nya (misalnya perkawinan dengan mas kawi atau perkawinan bergabung bruid eschat of
inlige fhuwelijk). Adalah penting untuk menguraikan hal ini lebih lanjut.
Diminangkabau
dimana berlaku hukum keturunan menurut garis ibu sedikitnya didaerah
minangkabau tengah dimana adat dipegang teguh merupakan suatu kebiasaan, bahwa
siistri setelah kawin tetap tinggal pada keluarganya dan bahwa suaminya
berkunjung kepadanya untuk waktu singkat atau lebih lama jarang-jarang
bergabung disitu sehingga ia didalam hubungan keluarga siistri tidak lebih dari
seorang tamu yang dihormati. Anak-anak menurut hukum didalam pergaulan hanya
merupakan anak-anak siibu dan si, suami tetap menjadi anggota dari kelompok
familynya sendiri akibatnya adalah bahwa diminang kabau hubungan keluarga,
kehidupan keluarga dan harta keluarga tidak mengalami perkembangan tetapi bahwa
disiti terdapat suatu hubungan family besar yang kuat (dimana wanita yang
bersuami dengan anak-anaknya tetap merupakan bagiannya dengan harta family yang
lebih besar (tanah-tanah, rumah-rumah, family dan sebgainya) yang meskipun
dipakai oleh cabang-cabang family dan keluarga-keluarga masih tetap merupakan
suatu-kesaruan kekayaan yang tidak dibagi-bagikan.
Oleh
karena siwanita sesudah kawin ntuk kelurganya tetap ikut memiliki tanah ini dan
karena diantara rakyat tani kepemilikan tanah itu pada umumnya menduduki tempat
paling penting maka dengan sendirinya kedudukan sosial dari wnaita diminang
kabawu (didalam family besar) menjadi sangat menonjol dan didalam rumah tangga
family ia mempunai suara penting. Tidak dapat diragukan bhwa keduudkan yang
tinggi ini menjadi kurang karena pengaruh agama islam, yang tidak suka kepada
adanya prinsip-prinsip yang didasarkan atas garis keturunan ibu, dan yang pada
umumnya tidak menguntungkan bagi kedudukan wanita namun didalam lingkungan family
besar kedudukan itu tetap menonjol, dilur, didalam kehhidupan masyarakat desa
misalnya, kedudukan itu praktis disama ratakan dan penting untuk diketahui
bahwa di minang kabau kepada family dan kepala masyarakat-masyarakat hukum
lainnya harus- selalu laki-laki.
Dari apa yang telah dibicarakan
tentang Minangkabau yang matriarkal itu tampak jelas bahwa apa yang akna jadi
lebih jelas lagi dalam daerah patriarkal terutama faktor-faktor sosial (wnaita
tetap berdiam denga keluarganya) dan ekonomi (turut mmeiliki tanah dan
sebgainya), yng mempengaruhi kedudukan lebih menguntungkan bagi wanita daripada
sistem susunan kelurga yang telah ditentukan.
Maka pada umumnya dapat dihRappkan untuk
kedudukan wanita yang jauh lebnih rendah dan di daerah-daerah yang sangat
menganut garis keturunan orang tua, suatu kedudukan uyang dibandingkan dengan
itu jauh menanjak didalam kehidupan famili dan kehidupan umum, tetapi baik
dalam hal yang satu maupun dalam hal lainnya tidak demikian kenyataannya. Dimana-mana
didaerah pedesaan kedudukan wanita itu berkisar pada tingkat yang sama, tingkat
yang ditentukan oleh jenisnya secara kategoris dan fungsional dan kedudukan
wanita Minangkabau dalam hal ini tidak merupakan suatu kecualian.
Didaerah
yang dikatakan bersifat patrilineal adalah suatu kebiasaan yang kerrapkali
ditemukan bahwa orang memilih suatu bentuk perkawinan dimana si wanita karena
perkawinannya itu berpindah ke family si suami dan bersama dengan itu juga
biasanya, bahwa si family si suami membayar mas kawin kepada family istri,
bahwa anak laki-laki yang dari perkawinan itu dilahirkan hanya meneruskan garis
ayah, dan ayah dari ayahnya, dan bahwa hanya anak laki-laki lah yang mengganti
didalam harta keluargaa dan family dan di dalam kedudukan-kedudukn pada pihak
ayahnya. Kedaan sosial (bertempat tinggal sebagai orang asing didalam family
suaminya, karenanya juga berkewajiban untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan
rumah) dan keadaan ekonomis (ia sendiri tidak ikut berhak atas harta family
suaminya dan sebagai peroranganbersama keluarganya sanpai jauh tergantung dari
family suaminya) yang lebih menekan kedudukannya di dalam keluarga dan family
daripada sistem hubungan keluarga berdadasarkan garis keturunan ayah yang
berlaku.kepentingan-kepentingan sosial dan ekonomis di dalam family dan sigadis
yang sudah akil-balig itu terancam, maka hal itu akan menjadi sebab bagi family
si gadis untuk mengajukan sebagai syarat dipilihnya suatu bentuk perkawinan,
dimana sebaliknya si suami tanpa membayar maskawin berpindah ke family si istri
(perkawinan bergabung-inlijfhuwelijk) dan disitu membentuk keluarganya yang
anak-anaknya semuanya atau sebagian dipegunakan untuk memelihara kelangsungan
dari garis keturunan harta dan family si ibu.
Di
daerah-daerah dengan susunan keluarga menurut garis orangtuanya, jadi dimana
family dan harta family di pelihara keluarganya tidak secara sepihak oleh anak
perempuan atau anak laki-laki, bahwa keadaan sosial dan ekonomis itulah dan
bukan sistem kekeluargaan yang berlaku yang mempengaruhi kedudukan istri atau
suami, sebab juga disana karena sebab-sebab yang sama dan dalam ukuran yang
sama yang didalam keluarga dan family menekan salah satu dari suami istri itu
(suami atau istri) yang karena keadaan bergabung di dalam family dari salah satu
pihak.
Kenyataan,
bahwa seorang istri ikut bertempat tinggal di dalam suatu famili yang asing
mungkin mempunyai pengaruh atas kedudukannya di dalam kehidupan umum dari
masyarakat hukumnya tetap tidak terpengaruh oleh kenyataan itu. Tetapi dalam
hal itu kedudukannya yang merosot itu disebabkan karena kenyataan, bahwa ia
disitu adalah seorang asing dan bukan karena ia itu adalah wanita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar