Konsep
Kurikulum
A.
Kurikulum
Sebagai Rencana Pelajaran
Konsep
kurikulum sebagai suatu program atau rencana pembelajaran, tampaknya diikuti
oleh para ahli kurikulum dewasa ini, seperti Donald E. Orlosky dan B. Othanel
Smith (1978) dan Peter F. Oliva (1982), yang menyatakan bahwa kurikulum pada
dasarnya adalah suatu perencanaan atau program pengalaman siswa yang diarahkan
sekolah.
Kurikulum sebagai suatu rencana tampaknya juga sejalan dengan rumusan kurikulum
menurut Undang-Undang pendidikan kita yang dijadikan sebgai acuan dalam
penyelenggaraan sistem pendiidkan. Menurut UU No 20 Tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional dikatakan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
belajar mengajar. Yang dimaksud dnegan isi dan bahan pelajaran itu sendiri
adalah susunan dan bahan kajian dan peljaran untuk mencapai tujuan
penyelenggaraan suatu pendidiakan yang bersangkutan dalam rangka upaya mencapai
tujuan pendidikan nasional.
Batasan
menurut undang-undang itu tampak jelas, bahwa kurikulum memiliki dua aspek
pertama sebagai rencana (as a plan) yang harus dijadikan sebgai pedoman dalam
pelaksanaan proses belajar mengajar oleh guru dan kedua pengaturan isi dan cara
pelaksanaan rencana itu yang keduanya digunakan sebgai upaya pencapaian tujuan
pendidikan nasional.
Kurikulum sebagai suatu rencana tertulis memang mudah dipahami, sebab
knsep itu jelas sasarannya dan mudah untuk diukur akan tetapi, konsep yang
terlalu sempit juga dianggap tidak menguntungkan. Hal ini seperti dikemukakan
oleh Zeis (1976) jika kita ingin mengevaluasi kurikulum, kita tidak hanya
mengevaluasi rencana saja, tetapi mengevaluasi keberhasilan pelaksanaan kurikulum
tertulis itu pada peserta didik. Oleh karena itu kurikulum tidak hanya
menyangkut rencana akan tetapi bagaimana pelaksanaan rebcana itu. Jadi, antara
kurikulum sebagai sebuah rencana dengan kuurikulum sebagai sebuiah pernyataan
tidak dapat dipisahkan. Hal ini sejalan dengan pendapat Murray Print (1993)
menyatakan : “Curriculum is defined as
all the palnned learning opportunities offered to learner by the educational
institution and the expreriences learners encounter when the curriculum is
implemented”.
Perlu kita pahami,
bahwa sekolah didirikan untuk membimbing peserta didik agar berkembang sesuai
dengan tujuan yang diharapkan. Ini berarti titik sentral kurikulum adalah anak
didik itu sendiri. Perkembangan anak didik akan tercapai apabila dia memperoleh
pengalaman belajar melalui kegiatan yang disajikan sekolah, baik melalui mata
pelajaran maupun kegiatan lainnya. Oleh karena itu seperti yang dikatakan Zais,
kurikulum sebgai suatu rencana pembelajaran harus bermuara pada perolehan
pengalaman peserta didik yang sengaja dirancang untuk mereka miliki. Akhirnya
kita simak juga pendapat Skill Beck dan Harris (1976) yang menyatakan bahwa kurikulum bukanlah materi pelajaran
yang terpisah yang harus disampaikan dan dipelajari melainkan bentuk pengalaman
dan kebudayaan individu yang harus dipelihara dan dimodifikasi. Dengan demikian, dalam kurikulum harus
mencakup dua sisi yang sama penting, yaitu perencanaan pembelajaran serta
bagaimana perencanaan iytu diimplementasikan menjadi pengalaman belajar siswa
dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan.
Kurikuum dapat diartikan sebagai sebuah dokimen perencanaan yang berisi
tentang tujuan yang harus dicapai, isi materi dan pengalaman belajar yang harus
dilakukan siswa, strategi dan cara yang dapat dikembangkan, evaluasi yang
dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang pencapian tujuan, serta
implementasi dari dokumen yang dirancang dalam bentuk nyata. Dengan demikian,
pengembangan kurikulum meliiputi penyusunan dokumen, implementasi dokumen serta
evaluasi dokumen yang telah disusun.
B.
Kurikulum
Sebagai Pengalaman
Banyak
tokoh yang menganggap kurikulum sebagai pengalaman, di antaranya adalah Hollis
L. Caswell dan Campbell (1935), yang menyatakan bahwa kurikulum adalah “... all of the experiences children have
under the guidance of teacher”. Demikian juga dengan Dorris Lee dan Murray
Lee (1940) yang menyatakan kurikulum sebagai : “... those experience of the
child which the school in any way utilizes or attempts in influence”. Lebih
jelas lagi dikemukakan oleh H. H. Giles, S. P McCutchen, dan A.N. Zechiel: “... the currriculum.. the total experience
with which the school deals in educating young people”.
Pergeseran pemaknaan kurikulum dari sejumlah mata pelajaran kepada
pengalaman, selain disebabkan meluasnya fungsi dan tanggung jawab sekolah, juga
dipengaruhi oleh penemuan-penemuan dan pandangan-pandangan baru khususnya
penemuan dalam bidang psikologi belajar. Pandangan baru dlam ppsikologi
menganggap bahwa belajar itu bukan mengumpulkan sejumlah pengetahuan, akan
tetapi proses perubahan perilaku siswa. Dengan demikian, siswa telah belajar
manakala telah memiliki perubahan perilaku. Tentu saja perubahan perilaku itu
akan terjadi manakala siswa memiliki pengalaman belajar. Oleh sebba itu dalam
proses belajar, pengalaman dianggap lebih penting daripada hanya sekedar
menumpuk sejumlah pengteahuan.
Kalaulah kurikulum dianggap sebagai pengalaman atau seluruh aktivitas
siswa, maka untuk memahami kurikulum sekolah tidak cukup hanay dengan melihta
dokumen kurikulum sebgai suatu program tertulis, akan tetapi juga bagaimana
proses pembelajaran dilakukan anak didik baik disekoalah maupun diluar sekolah.
Hal ini harus dipahami, sebab kaitannya sangat erat dengan evaluasi
keberhasilan pelaksanaan suatu kurikulum, yaitu bahwa pencapaian target
pengalaman belajar kurikulum tidak hanya diukur dari kemampuan siswa menguasai
seluruh isi atau materi pelajaran seperti yang tergambar dari hasil tes sebagai
produk belajar, akan tetapi juga harus dilihat proses atau kegiatan siswa
sebagai pengalaman belajar.
Bagaimana menentukan dan mengukur pengalaman belajar itu? Bukanlah
pekerjaan sederhana. Segala bentuk perilaku siswa merupakan hasil dari
pengalamannya yang tidak mungkin dapat dikontrol guru. Oleh sebab itu,
kurikulum sebagai suatu pengalaman dianggap bebrapa ahli sebagai konsep yang
luas. Dan karena keluasannya itulah maka makna kurikulum menjadi kabur dan
tidak fungsional.
Evaluasi (penilaian) hasil belajar siswa merupakan salah satu kegiatan
manajemen kurikulum. Evaluasi berguna dan bertujuan untuk mendapatkan umpan
balik (feed back) bagi pendidik tentang sejauh mana tujuan instruksional
(pengajaran) telah tercapai, sehingga dapat diketahui apakah guru masih harus
memperbaiki langkah-langkah yang ia tempuh dalam kegiatan mengajar.
Bagi siswa, hasil evaluasi akan menunjukkan kepada mereka betapa
keberhasilan mereka dalam kegiatan belajar yang pernah mereka lakukan. Secara
garis besar, evaluasi belajar di sekolah dapat dibedakan atas:
1. Tes Formatif, evaluasi/ penilaian berupa tes (soal-soal, pertanyaan) yang
dilakukan setelah satu pokok bahasan selesai dipelajari
2. Tes Sumatif, evaluasi/ penilaian berupa tes (soal-soal, pertanyaan) yang
dilakukan setelah kegiatan belajar mengajar berlangsung dalam jangka waktu
tertentu. Misalnya setelah satu caturwulan atau satu semester.
Tes hasil belajar berguna membantu
siswa dalam mengambil keputusan tentang rencana pendidikan dan membantu sekolah
menilai berbagai aspek kurikulum yang menggambarkan kemajuan belajar siswa.
Kurikulum dan
hasil belajar merupakan salah satu komponen kurikulum berbasis kompetensi yang
memuat kompetensi dasar, hasil belajar dan indikator. Kompetensi dasar adalah,
pernyataan yang diharapkan dapat diketahui,
disikapi dan dilakukan siswa. Hasil belajar adalah, pernyataan kemampuan siswa
yang diharapkan dalam menguasai sebagian atau seluruh kompetensi yang
ditetapkan. Indikator adalah, kompetensi dasar secara spesifik yang dapat
dijadikan ukuran untuk menilai ketercapaian hasil pembelajaran.
Dari pendapat ini, maka jelaslah suatu kompetensi harus didukung oleh
pengetahuan, sikap dan apresiasi, artinya tanpa pengetahuan dan sikap tidak
mungkin muncul suatu kompetensi tertentu.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Gordon (1988), menjelaskan beberapa aspek
yang harus terkandung dalam kompetensi, yaitu:
1. Pengetahuan
(knowledge)
2. Pemahaman
(understanding)
3. Ketrampilan
(skill)
4. Nilai
(value)
5. Sikap
(attitude)
6. Minat
(interest)
Dari uraian di atas, maka kompetensi bukan hanya ada dalam tataran
pengetahuan akan tetapi sebuah kompetensi harus tergambar dalam pola prilaku.
1. Ranah (domain) Kognitif, pengetahuan yang mencakup kecerdasan bahasa dan
kecerdasan logika.
2. Ranah (domain) Afektif, sikap dan nilai yang mencakup kecerdasan antar
pribadi, dengan kata lain kecerdasan emosional
3. Ranah (domain) Psikomotor, ketrampilan yang mencakup kecerdasan kinestetik,
kecerdasan visual-spasial dan kecerdasan musikal.
Cara penilaian yang dilakukan untuk mengetahui kemampuan siswa harus
dirancang dengan memperhatikan hal-hal berikut:
1.
Mengacu pada
kurikulum
2.
Bersifat
adil bagi seluruh siswa
3. Dapat memberi informasi yang lengkap sebagai umpan balik
4. Bermanfaat bagi siswa untuk mengetahui kekuatan dan kelemahannya
5. Dilaksanakan tanpa menekan siswa atau dalam suasana yang menyenangkan.
6.
Diadministrasi
secara tepat dan efesien
Evaluasi hasil belajar dapat dilakukan dengan penilaian kelas, tes
kemampuan dasar, penilaian akhir satuan pendidikan dan sertifikasi serta
penilaian program. Kurikulum berbasis kompetensi akan berhasil dilaksanakan
jika diterapkan pola belajar aktif karena pola ini mampu mengembangkan seluruh
kompetensi secara optimal. Jika pola ini diterapkan, beragam cara dan alat
penilaian harus pula diterapkan, terutama cara-cara unjuk kerja, produk,
portopolio dan tingkah laku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar