Konsep Dasar Aksiologi
Aksiologi adalah asas mengenai cara
begaimana menggunakan ilmu pengtahuan yang secara epistemologi diperoleh dan
disusun. Menurut kamus “The Random House
Dictionary of the English Language”: aksiologi adalah cabang filsafat yang
berkaitan dengan nilai,seperti etika, estetika, atau agama.Secara historis,
istilah yang lebih umum dipajai adalah etika (ethics) atau moral (morals).
Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai)
dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam diaog filosofis. Jadi, aksiologi
bisa disebut sebagai the theory of value atau
teori nilai. Yaitu bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tenang baik dan
buruk (good and bad), benar dan salah
(right and wrong), serta tentang cara
dan tujuan (means and ends).
Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia
bertanya seperti apa itu baik (what is
good). Tatkala yang baik terindefikasi, maka memungkinkan seseorang untuk
berbicara tentang moralitas, yakni memakan kata-kata atau konsep “seharusnya”
atau “sepatutnya” (ought/should).
Menurut Jujun
S. Suriasumantri (1985 : 34-35) Aksiologi merupakan cabang filsafat yang
mempelajari tentang nilai secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi
mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan?
Bagaimana kaitan antara car penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral?
Bagaimana kaitan antara teknik, prosedural yang merupakan operasionalisasi
metode ilmia dengan norma-norma moral atau profesional?. Pada dasarnya ilmu
engetahuan harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam
hal ini, ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan
taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan
kelestarian atau keseimbangan alam.Untuk kepentingan manusia tersebut
pengetahuan ilmiah yang diperolrh dan disusun dipergunakan secara komunal dan
universal. Komunal berarti ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik
bersama, setiap orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya. Universal
berarti bahwa ilmu tidak mempunyai koonotasi ras, ideologi, atau agama.
Aksiologi terdiri dari analisis tentang
kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau
menemnukan suatu teori nilai. Terdapat dua kategori dasar aksiologi, yaitu; (1)
objectivisme dan (2) subjectivisme. Keduanya beranjak dari pertanyaan yang
sama: apakah nilai itu bersifat bergantung atau tidak bergantung pada pendapat
manusia. Dari sini muncul emat pendekatan etika, dua yang pertama beraliran
obyektivis, sedangkan dua berikutnya beraliran subyektivis.Dengan demikian,
sebagai cabang filsafat yang berbicara tentang nilai (what is the value), aksiologi merupakan “ilmu” yang memberikan
pertimbangan pada sesuatu yang berharga, berkualitas, bermakna dan bertujuan
bagi kehidupan manusia, individu maupun kelompok. Umumnya orang menimbang nilai
dengan kadar baik atau buruk (etika), indah atau jeek (estetika). Karena itu,
nilai mengarahkan tindakan unuk membentuk “preferensi nilai” (system nilai atau
nilai).
Secara etimologis aksiologi berasal dari
kata axia (nilai, value:inggris), dan
logos (perkataan, pikiran, ilmu).
Untuk itu, aksiologi berarti ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai,
yang pada umumnya ditinjau dari sudut pendangan kefilsafatan. Sedangkan menurut
Jalaluddin, aksiologi adalah suatu bidang yang menyelidiki nilai-nilai (value)
yang dibedakan dalam tiga bagian, yaitu;
·
Moral
Conduct, tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin
khusus yakni etika.
·
Esthetic
Expression, ekspresi keindahan yang melahirkan
estetika.
·
Socio-political
Life, kehidupa sosio-politik, bidang ini melahirkan ilmu
filsafat sosio-politik.
Aksiologi diartikan juga sebagai teori
nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh, pada
umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Di dunia ini terdapat banyak
cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang khusus,
seperti epistimologi, etika dan estetika. Epistemologi bersangkutan dengan
masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan estetika
bersangkutan dengan masalah keindahan. Demikianlah aksiologi terdiri dari
analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka
menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
1.
Aksiologi merupakan Nilai Kegunaan Ilmu
Sebagaimana telah dijelaskan diatas
bahwa aksiologi merupakan dimensi yang berkaitan dengan ilmu dan moral, atau
nilai yang menjadi acuan seorang ilmuan, dan tanggung jawab sosial ilmuan.
Karena itu, salah satu aspek pembahasan tentang integrasi keilmuan tidak dapat lepas
dari kajian aksiologi ilmu.Karena kegunaan ilmu tidak lepas dari kepentingan
manusia, artinya ilmu harus membawa dampak positif bagi manusia. Bukan
sebaliknya membawa petaka bagi manusia. Sebagaiman ungkapan Francis Bacon
seperti yang dikutip oleh Jujun. S. Suriasumantri bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan”. Pada titik ini layak kita
mempertanyakan apakah kekuasaan itu merupakan berkah atau justru petaka bagi
umat manusia? Meskipun ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk
mencaai kebahagiaan hidupnya, dan memiliki sifat netral sehingga ilmu tidak
mengenal baik ataupun buruk, namun semuanya tergantung pada pemilik dalam
menggunakannya.Oleh karena itu, nilai kegunaan ilmu yang dapat dilia pada
kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat
memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:
a. Filsafat
sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran: jika
seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang
membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau
sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori
filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori-teori filsafat ilmu.
b. Filsafat
sebagai pandangan hidup: filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori
ajarannya diterima kebenarannya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu
sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan.
c. Filsafat
sebagai metodologi dalam memecahkan masalah: dalam hidup ini kita menghadapi
banyak masalah. Bila ada batu didepan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki
kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebi enak bila
masalah-masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah,
muai dari cara yang digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak
terselesaikan secara tuntas, penyelesaian yang detail itu biasanya dapat
mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.
Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya,
bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak bergantung ada
pendapat individu, melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi
subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran mansia
menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu
memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki adal budi manusia, seperti
perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak
senang.
Bagaiman dengan objetivitas ilmu sudah
menjadi ketentuan umum bahwa ilmu hasur bersifat onjektif. Salah satu faktor
yang membedakan antara pernyataan ilmiah dengan anggapan umum ialah terletak
pada onjektifitasnya, seorang ilmuan harus melihat realitas empiris dengan
mengesampingkan kesadaran yang bersifat idiologi, agaman dan budaya. Seorang
ilmuan haruslah bebas dalam menentukan topik penelitiannya, bebas melakukan
eksperimen-eksperimen. Ketika seorang ilmuan bekerja, dia hanya tertuju kepada
roses kerja ilmiah dan tujuannya agar penelitiannya berhasil dengan baik. Nilai
objektif hanya menjadi tujuan utamanya, dia tidak mau terikat pada nilai
subjektif yang ada.
2.
Moralitas Sebagai Dasar Pijakan Manusia
Hal
mendasar yang tidak dapat dilepaskan begitu saja dalam membicarakan pembenaran
moral, adalah persoalan yang berkenaan dengan pertanyaan bagaimana seseorang
daoat hidup dengan cara yang baik setiap saat. Mengingat bahwa manusia itu
terlahir dalam keadaan “baik”, sehingga menjadi tugasnya untuk selalu mempertahankan
kebaikan tersebut terutama dalam hubungan sosialnya. Maka tanggung jawab
terutama dari eksistensinya di dunia adalah bagaimana memfungsikan dirinya
sedemikian rupa agar dapat meraih nilai-nilai moral menjadi miliknya yang
sejati, sehingga ia pantas disebut sebagai manusia.Penerimaan sebuah nilai,
erat kaitannya dengan upaya-upaya rasional manusia dalam mencari
pembuktian-pembuktian yang meyakinkan dirinya atau kebenarannya, sehingga ia
menemukan pegangan hidup yang akan menuntun dirinya menjalani keidupannya di
dunia. Sehingga dengan cara demikian ia pun dapat hidup dengan cara yang baik
dan pantas setiap saat.Oleh karena itu, pertanyaan spesifik yang diajukan
adalah: seperti apa “yang baik” atau
“yang tidak baik”, dan “yang pantas” serta “ yang tidak pantas”
itu? Pertanyaan-pertanyaan ini berkenaan dengan alasan-alasan dan motif-motif
seseorang dalam melakukan tindakan moral. Ketika seseorang melihat tindakan
moral dalam konteks produk dari sebuah perilaku, maka dalam hal ini ia melihat
pembenaran moral dalam konsekuensi sebuah tindakan. Mereka dalam hal ini
melihat bahwa tidak ada suatu yang bernilai “baik” akan melahirkan kejahatan,
dan sebaliknya bahwa tidak akan ada suatu yang bernilai “jahat” akan melahirkan
kebaikan.Sebaliknya, bagi mereka yang berkeyakinan bahwa perilaku moral dapat
dilihat dari nilai-nilai yang ada pada proses, dengan mengatakan jika suatu
tindakan dilalui dengan penuh pertimbangan dan procedural, maka akan melahirkan
produk moral. Sebaliknya, apabila sebuah tindakan tidak melalui proses dan
prosedur moral, makan akan terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam berperilaku,
sehingga dengan demikian moralitas selalu tampil dalam berbagai sendi, baik
dalam proses maupun dalam produk.Standar moral manusia banyak ditentukan oleh
tingkat perkembangan sosialnya, intelegensinya dan ilmu pengetahuan yang
berkembang. Moralitas tumbuh dan berkembang dalah kehidupan manusia sebagai
pembuka bagi kehidupan yang lebih maju ke arah keidupan yang membahagiakan dan
enuh makna. Oleh karena itu, problem moral bukan sekedar masalah moral itu
sendiri, tetapi juga menyangkut persoalan sosial, ekonomi dan juga polotik.Pra
pemikir moral banyak memberikan jawaban atas pertanyaan diatas, seperti yang
tergabung dalam aliran deontologis, ojektif dan non-naturalistik dan yang
termasuk dalam aliran teleologis, subjektif dan naturalistik yang kesemuanya
memiliki epistemologi yang berbeda dalam memberikan jawaban atas pembenaran
nilai-nilai moral.
sumber :Susanto, A.(2011). FilsafatIlmu.Jakarta: PT Bumi Aksara.
sumber :Susanto, A.(2011). FilsafatIlmu.Jakarta: PT Bumi Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar