Filsafat Ilmu dan Metodologi penelitian
Dalam buku Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian saya
membaca tentang manusia sebagai makhluk
berfikir. Hakikat pribadi manusia itu sendiri alah manusia sebagai makhluk
Tuhan yang otonom, berarti sebagai pribadi yang tersusun atas kesatuan harmonis
jiwa raga dan eksisi sebagai individu yang memasyarakat. Manusia lahir dalam
keadaan serba misterius, artinya sangat sulit mengetahui mengapa, bagaimana,
dan untuk apa kelahirannya itu, yang pasti diketahui ialah bahwa manusia
dilahirkan oleh Tuhan melalui manusia lain (orang tua). Kehadirannya kedunia
seperti buku tanpa bab pendahuluan dan penutup, ia hanya menghadapi isinya saja
dan ia hanya menyusun sendiri bab pendahuluan dan penutupnya itu berdasarkan
fakta yang tersirat dalam lembaran-lembaran isisnya.
Bahwa
sesungguhnya manusia adalah makhluk yang lemah, yang keberadaannya sangat
tergantung kepada penciptanya, akan tetapi kebergantungan terhadap sang
pencipta tersebut bukanlah semata-mata melainkan kebergantungan yang
berkeluasan. Manusia menerima ketergantungan itu dengan otonomi, indepedensi,
serta kreatifitasnya sedemikian rupa sehingga mampu mempertahankan dan
mengembangkan hidup dan kehidupannya. Dengan otonomi dan kreatifitasnya, segala
hal dan puji kepada sang pencipta diwujudkan dalam bentuk usaha mengatasi
segala macam problem hidup. Manusia juga berperan sebagai makhluk yang berjiwa
raga, dan unsur jiwa dan raga manusia bukanlah hal yang berdiri sendiri, tetapi
berada di dalam satu struktur yang menyatu menjadi diri pribadi. Sehingga diri
pribadi manusia adalah jiwa yang meraga dan raga yang menjiwa, artinya jiwa
menyatu dengan raga dan raga menjadi satu dengan jiwa. Kejiwaan seseorang akan
terlihat dari tingkah laku badannya dan badan seseorang itu akan mencerminkan
jiwanya.
Jiwa yang
menjadi satu dengan raga, yaitu jiwa yang maujud dalam bentuk raga. Dalam jiwa
ada unsur yang sering dikenal dengan tri-potensi kejiwaan, yaitu cipta, rasa
dan karya. Raga yang menjadi satu dengan jiwa adalah suatu kecenderungan fenomena badan yang menjadi
bersifat kejiwaan. Jiwa manusia tidak sama dengan jiwa hewan, jiwa manusia
adalah berkesadaran, sadar akan dirinya, sadar akan sesamanya, sadar akan
dunianya, dan sadar akan asal mula dan tujuannya. Manusia sebagai makhluk individu yang memasyarakat. Kedudukan manusia sebagai individu
dan anggota masyarakat juga berada dalam satu struktur kesatuan. Manusia
berperan sebagai makhluk individu yang masyarakat sekaligus makhluk sosial yang
mengindvidu, manusia sejak diciptakan keberadaannya dan hidupnya hanya bisa
bergantung kepada pihak lain. Hukum alam ini merupakan realitas yang tak dapat
dihindarkan akan tetapi, sebagai individu yang berdiri pribadi, manusia
memiliki otonomi dan kebebasan jiwa, yang berhak berbuat atau tidak berbuat.
Setiap orang
menyelenggarakan hidup dan mengembangkan kehidupannya dengan cara menghubungkan
dan meningkatkan diri masing-masing sehingga kelebihan dan kekurangan yang ada
bisa diberikan kepada dan diterima orang lain, masyarakat akan berkembang
menurut jenis, bentuk dan sifat kebutuhannya. Manusia mempunyai ciri yang
istimewa, yaitu kemampuan berfikir yang ada dalam satu struktur dengan perasaan
dan kehendaknya (sehingga sering disebut dengan makhluk yang berkesadaran),
pengenalan manusia terhadap segala sesuatu disekelilingnya diawali secara
represif makanan, minuman, pakaian dan lain-lain. Selanjutnya dikenal pula
orang tua, saudara dan orang lain dalam
hubungan yang semakin jauh, berkat perkembangan alam pikiran dan kesadarannya,
manusia mulai mengenal makna masing-masing secara kritis. Selanjutnya dengan
pemikirannya yang kritis dan kreatif manusia memikirkam dirinya sendiri yaitu
hakikatnya sebagai manusia.
Hakikat manusia
adalah makhluk Tuhan yang eksis dalam diri pribadinya yang otonom, berjiwa raga
dan berada dalam sifat hakikatnya sebagai makhluk individu yang memasyarakat.
Kemudian ia sadar akan perlunya pemecahan segala masalh tersebut demi
tercapainya tujuan hidupnya, untuk itulah manusia selalu berusaha meningkatkan
kualitas pemikirannya dari yang mistis religius menuju ke
ontologis-kefilsafatan, sampai akhirnya kepada taraf yang paling
konkrit-fungsional. Terhadap diri sendiri, manusia mulai bersikap teknis,
mengfungsikan dirinya sepragmatis mungkin demi dirinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar