Konsep Dasar Epistemologi
Secara etimologi, epistemologi berasal
dari bahasa Yunani, yaitu episteme dan
logos. Episteme artinya pengetahuan; logos biasanya dipakai untk menunjuk
pengetahuan sistmatik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa epistemologi adalah
pengetahuan sistematik tentang pengetahuan. Istilah ini pertama kali
dipopulerkan oleh J.F. Ferier tahun 1854 yang membuat dua cabang filsafat, yakni
epistemology dan ontology (on=being, wujud,
apa + logos = teori), ontology (teori
tenang apa). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar
yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh secara ilmiah. Ini berarti
bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tidak ilmiah. Adapun yang tergolong
ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu
akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian
rupa, sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis,
dan normatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya, sehingga
memenuhi kesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut Jujun S. Suriasumantri (1985 :
34-35),Epistemologi adalah
cabang filsafat yang membicarakan tentang asal muasal, sumber, metode, struktur
dan validitas atau kebenaran pengetahuan. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan
epistemologi mempertanyakan bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan
yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan
agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar apa yang disebut kebenaran itu
sendiri? Apakah kriterianya? Cara atau teknik atau sarana apa yang membantu
kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?
Secara singkat dapat dikatakan bahwa
epitemologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan mengenai
masalah hakikat pengetahuan. Dengan kata lain, epistemology meruakan disiplin
filsafat yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang pengetahuan.
Sedangkan pengetahuan yang tidak ilmiah adalah masih tergolong prailmiah. Dalam
hal ini, berupa pengetahuan hasil sarana inderawi yang secara sadar diperoleh,
baik yang telah ada maupun baru didapat. Disamping itu, sesuatu yang diperoleh
secara pasif atau di luar kesadaran, seperti ilham, intuisi, wangsit, atau
wahyu (oleh nabi). Dengan kata lain, pengetahuan ilmiah diperoleh secara sadar,
aktif, sistematis, jelas prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak
bersifat acak, kemudian diakhiri dengan verifikasi atau diuji kebenaran
(validitas) ilmiahnya. Sedangkan pengetahuan yang pra-ilmiiah, sesungguhnya
dieroleh secara sadar dan aktif, namun bersifat acak, yaitu tanpa metode,
apalagi yang berupa intuisi, sehingga tidak dimasukkan dalam ilmu. Dengan
demikian, pengetahuan pra-ilmiah karena tidak diperoleh secara
sistematis-metodologis ada yang cenderung menyebutnya sebagai pengetahuan
“naluriah”. Dalam sejarah perkembangannya, di zaman dahulu yang lazim disebut
tahap-mistik, tidak terdapat perbedaandiantara pengetahuan-pengetahuan yang
berlaku juga untuk obyek-obyeknya, pada tahap mistik ini, sikap manusia seperti
dikepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya, sehingga semua obyek tampil
dalam kemestaan dalam artian satu sama lain berdifusi menjadi tidak jelas
batas-batasnya. Tiadanya perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuan itu
mempunyai implikasi sosial terhadap kedudukan seseorang yang memiliki kelebihan
dalam pengetahuan untuk dipandang sebagai pemimpin yang mengetahui
segala-galanya.Fenomena tersebut sejalan dengan singkat kebudayaan primitif
yang belum mengenal berbagai organisasi kemasyarakatan, sebagai implikasi belum
adanya diverifikasi pekerjaan. Seorang pemimpin dipersepsikan dapat merangkap
fungsi apa saja, anatara lain sebagai seagi kepala pemerintahan, akim, guru,
panglima perang, penjabat, pernikaan dan sebagainya. Ini berarti pula bahwa
emimpin itu mampu menyelesaikan segala masalah, sesuai dengan keanekaragaman
fungsional yang dicanangkan kepadanya.
Epistemologi juga disebut sebagai cabang
filsafat yang berelevansi dengan sifat dasar dan ruang lingkup pengetahuan,
pra-anggapan-pra-anggapan, dan dasar-dasarnya, serta rehabilitas umum dari
tuntutan akan pengetahuan. Epistemologi secara sederhana dapat didefinisikan
sebagai cabang filsafat yang mengkaji awal mula, struktur, metode, dan validity
pengetahuan. Berdasarkan berbagai definisi itu dapat diartikan, bahwa
epistemologi yang berkaitan dengan masalah-masalah yang meliputi:
·
Filsafat, yaitu sebagai filsafat yang
berusaa mencari hakikat dan kebenaran pengetahuan;
·
Metode, sebagai metode bertujuan
mengatur manusia untuk memperoleh pengetahuan.
·
Sistem, sebagai suatu sistem bertujuan
memperoleh realitas kebenaran pengetahuan itu sendiri.
1. Metode
dan Memperoleh Pengetahuan
a. Empirisme
Empirisme adalah suatu cara atau metode
dalam filsafat yang berdasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui
pengalaman. John Locke, bapak empirisme Britania, mengatakan bahwa pada waktu
manusa dilahirkan akalnya merupakan jenis catatan yang kosong (tabula rasa), dan di dalam buku catatan
tulah dicatat pengalaman-pengalaman inderawi. Menurut Locke, seluruh sisa
pengetahuan kita diperoleh dengan jalan menggunakan serta membandingkan ide-ide
yang diperoleh dari penginderaan serta refleksi yang pertama-pertama dan
sederhana tersebut. Ia memandang akal sebagai sejenis tempat penampungan yang
secara pasif menerima asil-hasil enginderaan tersebut. Ini berarti semua
pengetahuan kita, betapapunrumitnya dapat dilacek kembali sampai kepada
pengalaman-engalaman inderawi yang pertama-pertama dapat diibaratlam sebagai
atom-atom yang menyusun objek-objek material. Apa yang tidak dapat atau tidak
erlu dilacak kembali secara demikian itu bukanlah pengetahuan, atau
setidak-tidaknya bukanlah pengetahuan mengenai hal-hal yang faktual.
b. Rasionalisme
Rasionalisme berpendirian bahwa sumber
pengetahuan terletak pada akal. Bukan karena rasionalisme mengingkari nilai
pengalaman, melainkan pengalaman paling-paling dipandang sebagai sejenis perangsang
bagi pikiran. Ara penganut rasionalisme yakin bahwa kebenaran dan kesesatan
terletak didalam ide kita, dan bukannya didalam diri barang sesuatu. Jike
kebenaran mengandung makna dan mempunyai ide yang sesuai dengan atau menunjuk
kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan
hanya dapat diperoleh dengan akal budi saja.
c. Fenomenalisme
Bapak Fenomenalisme adalah Immanuel
Kant. Kant membuat uraian tentang pengalaman. Barang sesuatu sebagaiman
terdapat dalam dirinya sendiri merangsang alat inderawi kita dan diterima oleh
akal kita dalam bentuk-bentuk pengalam dan disusun secara sistematis dengan
jalan penalaran. Karena iu kita tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang
barang sesuatu seperti keadaannya sendiri, melainkan hanya tentang sesuatu
seperti yang menampak kepada kita, artinya, pengetahuan tentang gejala (Phenomenon).Bagi Kant para penganut
empirisme benar bila berpendapat bahwa semua pengetahuan di dasarkan pada
pengalaman meskipun benar hanya untuk sebagian.tetapi para penganut
rasionalisme juga benar, karena akal memaksakan bentuk-bentuknya sendiri
terhadap barang sesuatu serta pengalaman.
d. Intusionisme
Menurut Bergson, intuisi adalah suatu
sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Analisa, atau pengetahuan
yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan dapat menggantikan hal
pengenala secara langsung dari pengetahuan intuitif.Salah satu diantara
unsur-unsur yang berharga dalam instuisionisme Bergson ialah, paam ini
memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman disamping pengalaman yang dihayati
oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan
tambahan bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh
penginderaan. Kant masih tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan
didasarkan pada pengalaman, tetapi dengan demikian pengalaman arus meliputi
baik pengalaman inderawi maupun pengalam intuitif.
Hendaknya diingat, intusionisme tidak
mengingkari nilai pengalaman inderawi yang biasa dan pengetahuan yang
disimpulkan darinya. Intusionisme setidak-tidaknya dalam beberapa bentuk hanya
mengatakan bahwa pengetahuan yng lengkap diperoleh melalui intuisi, sebagai
lawan dari pengetahuan yang nisbi yang meliputi sebagian saja yang diberikan
oleh analisa. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera
hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh
intuisi, yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah
merupakan sesuatu seperti yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang
dapat menyingkapkan kepada kita keadaan yang senyatanya.
2. Justifikasi
Epistemologi
a. Evidensi
Evidensi adalah cara bagaimana kenyataan
itu dapat hadir atau “perwujudan dari yang ada bagi akal”. Konsenkuensi dari
pengertian itu adalah, bahwa evidensi sangatlah bervariasi. Akibat lebih lanjut
adalah persetujuan yang dijamin oleh kehadiran ada yang bervariasi ini juga
akan bervariasi. Seorang positivis mungkin menyatakan pengandaian bahwa masa
depan adala mirip dengan masa lampau. Namun evidensi yang menjamin kepastiannya
bukanlah kepastian yang sedemikian rupa seingga kejadian sebalknya tidak
terbayangkan.Evidensi dari perilaku manusia tentuberbeda dengan hal yang
semata-mata bersifat fisik, sebab kepastian manusiawi adalah bersifat
hipotesis. Misalnya saya yakin secara moral bahwa apabila supir bus itu normal
maka ia tidak akan menabrak mobilnya ke pohon. Kesaksian adalah salah satu
sumber dari keyakinan moral kepastiannya agak diremehkan. Namun banyak orang
yang lebih yakin pada pernyataan-pernyataan yang bersumber dari kesaksian
daripada tentang hukum gravitasi.
b. Kepastian
Kepastian dalam hal ini memuat kebenaran
dasar atau yang disebut sebagai kebenaran-kebenaran primer. Prinsip pertama
adalah suatu “kepastian dasar yang mengungkapkan eksistensi subjek”. Subjek
yang mengetahui tidak mesti identik dengan kegiatannya, ada perbedaan subjek
dan aktivitasnya. Adanya kesadaran akan mandirinya subjek dan manunggalnya
dengan aktivitasnya adalah penting, sebab ada beberapa aliran yang mengatakan
bahwa pakarti adalah bundle of actions, aliran ini
memposisikan pakarti merupakan
aksidensi dan bukan substansi.Kepastian dasar ini tidak saja merupakan jawaban
yang mendasar terhadap berbagai macam sikap dan ajaran seperti skeptisisme dan
relativisme, tetapi karena keastian dasar merupakan dasarnya segala kepastian.
c. Keraguan
Ada dua bentuk aliran yang
mempertanyakan kepaastian mengenai adanya kebenaran. Keduanya dapat dianggap
sebagai aliran yang mempermasalahkan, meragukan, dan mempertanyakan kebenaran
dan adanya kebenaran.Pertama, aliran
Skeptisisme-Doktriner berkeyakinan bahwa pengetahuan dan kebenaran itu tidak
ada, yang kurang ekstrem mengatakan sesungguhnya tidak ada cara untuk
mengetahui bahwa kita mempunyai pengetahuan. Misalnya, ajaran ini menganjurkan
agar orang tidak melibatkan diri dalam kegiatan intelektual tertentu karena
mempunyai pendapat tentang sesuatu, maka hal itu mengandung kontradiksi, sebab
ajaran untuk tidak melibatkan diri secara intelektual, adalah sudah merupakan
kegiatan inelektual.Kedua, aliran
Skepetisisme-Metodik menyatakan bahwa pengetahuan dan kebenaran ada, tetapi
tidak sebagai doktrin, melainkan sebagai metoda untuk menemukan kebenaran dan
kepastian. Aliran ini merupakan jalan untuk menemukan kepastian kebenaran.
sumber :Susanto, A.(2011). FilsafatIlmu.Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar